Rabu, 06 Agustus 2014

KONSEP DASAR HELMINTOLOGI



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Penyakit karena cacing (helminthiasis), banyak tersebar di seluruh dunia, terutama di daerah tropis. Hal ini berkaitan dengan faktor cuaca dan tingkat sosio-ekonomi masyarakat.
Kebanyakan cacing memerlukan suhu dan kelembaban udara tertentu untuk hidup dan berkembang biak. Sebagian cacing memerlukan vertebrata atau invertebrata tertentu sebagai host, misalnya ikan, siput, crustacea atau serangga, dalam siklus (lingkaran) hidupnya. Di daerah tropis, host-host ini juga banyak berhubungan dengan manusia, karena tidak adanya pegendalian dari masyarakat setempat.
Serangga, seperti nyamuk dan lalat pengisap darah, di samping sebagai intermediate host, juga merupakan bagian dari lingkaran hidup cacing. Penyebaran telur cacing yang ke luar bersama feses penderita, tidak hanya berkaitan dengan cuaca, seperti hujan, suhu dan kelembaban udara, tetapi juga berkaitan dengan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang sanitasi. Kebiasaan penggunaan feses manusia sebagai pupuk tanaman menyebabkan semakin luasnya pengotoran tanah, persediaan air rumah tangga dan makanan tertentu, misalnya sayuran, akan meningkatkan jumlah penderita helminthiasis.
Demikian juga kebiasaan makan masyarakat, menyebabkan terjadinya penularan penyakit cacing tertentu. Misalnya, kebiasaan makan ikan, kerang, daging atau sayuran secara mentah atau setengah matang. Bila di dalam makanan tersebut terdapat kista atau larva cacing, maka siklus hidup cacingnya menjadi lengkap, sehingga terjadi infeksi pada manusia. Berbeda dengan infeksi oleh organisme lain (bakteri, rikettsia, virus, jamur, protozoa), pada infeksi karena cacing, cacing dewasanya tidak pernah bertambah banyak di dalam tubuh manusia.
Kelainan patologis karena infeksi cacing bisa bervariasi bergangung pada jenis cacingnya. Misalnya, Ancylostoma duodenale, mengisap darah setelah melukai usus halus (intestinum) dengan “giginya”. Taenia saginata, menyerap makanan dari usus halus sedangkan Toxocara canis, penyebab penyakit cacing pada anjing, di dalam tubuh manusia hanya terdapat dalam bentuk larvanya, yang bermigrasi bersama aliran darah masuk ke berbagai organ tubuh, seperti liver, paru-paru, dan otak. Trichinella spiralis “bersarang” dalam bentuk kista di dalam otot. Dracunculus medinensis menyerang jaringan ikat dan jaringan subcutis. Wuchereria bancrofti yang hidup di dalam pembuluh lympha, menimbulkan peradangan yang akut maupun kronis yang bisa diikuti dengan tersumbatnya saluran lympha. Telur Schistosoma haematobium yang bertumpuk pada dinding kandung kencing (vesica urinaria) menimbulkan ulcerasi dan perdarahan. Selanjutnya, iritasi (rangsangan) mekanis atau kimiawi dari telur cacing yang dapat merangsang terjadinya hyperplasia atau metaplasia yang dapat menimbulkan carcinoma. Dapat disimpulkan bahwa berat-ringannya serta jenis perubahan patologis akibat infeksi cacing bisa bervariasi, dapat menimbulkan gejala akut maupun kronis.
1.2.Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang muncul adalah:
1.    Apa itu helmintologi?
2.    Bagaimana mekanisme cacing bisa menyebabkan penyakit?
3.    Apa penyebab terjadinya penularan penyakit cacing?
4.    Bagaimana cara mengatasi penyakit cacing?
1.3.Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah:
1.    Mengetahui apa itu helmintologi.
2.    Mengetahui mekanisme cacing bisa menyebabkan penyakit.
3.    Mengetahui penyebab terjadinya penularan penyakit cacing.
4.    Mengetahui cara mengatasi penyakit cacing.















BAB II
PEMBAHASAN

2.1.  Helmintologi
Helmintologi adalah ilmu cabang dari parasitologi. Helmintologi, diadopsi dari kata helmintos yang artinya cacing, dan logos yang artinya ilmu. Sementara Parasitologi berasal dari kata parasitos yang artinya organisme yang mengambil makan, dan logos yang artinya ilmu, telaah. Helmintologi merupakan suatu bidang ilmu tentang cacing yang berperan sebagai parasit.
(Jangkung, 2002)
Dalam kaitan dengan masalah kesehatan, maka parasitologi medik mempelajari parasit yang menghinggapi manusia dapat menyebabkan penyakit dan bahkan kematian.
Dalam bidang kedokteran dikenal sebagai ilmu yang mempelajari infeksi kecacingan pada manusia, apakah itu menyangkut infeksi kecacingan, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya infeksi kecacingan, dampak yang ditimbulkan oleh infeksi karena cacing, serta upaya pencegahan dan pengobatan infeksi kecacingan tersebut.
Cacing yang bersifat parasit pada manusia termasuk dalam 2 golongan besar, yaitu cacing bulat (Nemathelminthes) dan cacing pipih (Platyhelminthes). Dari Nemathelminthes yang terpenting adalah kelas Nematoda sedangkan dari Platyhelminthes adalah kelas Trematoda dan Cestoda.
(Indan Entjang, 2003)
2.2.  Nemathelminthes
Nemathelminthes berasal dari bahasa yunani, nema=benang, helminthes=cacing) disebut sebagai cacing gilig ukaran tubuhnya berbentuk bulat panjang atau seperti benang. Berbeda dengan Platyhelminthes yang belum memiliki rongga tubuh, Nemathelminthes sudah memiliki rongga tubuh meskipun bukan rongga tubuh sejati. Oleh karena memiliki rongga tubuh semu, Nemathelminthes disebut sebagai hewan Pseudoselomata.
2.2.1. Ciri Tubuh
Ciri tubuh Nemathelminthes meliputi ukuran, bentuk, struktur, dan fungsi tubuh.
a.    Ukuran dan bentuk tubuh
Ukuran tubuh Nemathelminthes umunya mikroskopis, meskipun ada yang panjangnya sampai 1 meter. Individu betina berukuran lebih besar daripada individu jantan. Tubuh berbentuk bulat panjang atau seperti benang dengan ujung-ujung yang meruncing.
b.    Struktur dan fungsi tubuh
Permukaan tubuh Nemathelminthes dilapisi kutikula untuk melindungi diri. Kutikula ini lebih kuat pada cacing parasit yang hidup di inang daripada yang hidup bebas. Kutikula berfungsi untuk melindungi diri dari enzim pencernaan inang. Nemathelminthes memiliki sistem percenaan yang lengkap terdiri dari mulut, faring, usus, dan anus. Mulut terdapat pada ujung anterior, sedangkan anus terdapat pada ujung posterior. Beberapa Nemathelminthes memiliki kait pada mulutnya.
Nemathelminthes tidak memiliki pembuluh darah. Makanan diedarkan keseluruh tubuh melalui cairan pada pseudoselom. Nemathelminthes tidak memiliki sistem respirasi, pernapasan dilakukan secara difusi melalui permukaan tubuh. Organ reproduksi jantan dan betina terpisah dalam individu berbeda.
2.2.2. Cara Hidup dan Habitat
Nemathelminthes hidup bebas atau parasit pada manusia, hewan, dan tumbuhan. Nemathelminthes yang hidup bebas berperan sebagai pengurai sampah organik, sedangkan yang parasit memperoleh makanan berupa sari makanan dan darah dari tubuh inangnya. Habitat cacing ini berada di tanah becek dan di dasar perairan tawar atau laut. Nemathelminthes parasit hidup dalam inangnya.
2.2.3. Reproduksi
Nemathelminthes umumnya melakukan reproduksi secara seksual. Sistem reproduksi bersifat gonokoris, yaitu organ kelamin jantan dan betina terpisah pada individu yang berbeda. Fertilisasi terjadi secara internal. Telur hasil fertilisasi dapat membentuk kista dan kista dapat bertahan hidup pada lingkungan yang tidak menguntungkan.
2.2.4. Klasifikasi
Nematoda merupakan salah satu kelas dari filum Nemathelminthes yang berperan sebagai parasit terhadap manusia, meliputi:
1)      Nematoda Usus:
a)   Ascaris lumbricoides
b)   Necator americanus dan Ancylostoma duodenale
c)    Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum
d)   Trichuris trichiura
e)    Strongyloides stercoralis
f)     Enterobius vermicularis/Oxyuris vermicularis
2)      Nematoda jaringan yang termasuk filaria limfatik:
a)   Wuchereria bancrofti
b)   Brugia malayi
c)    Brugia timori
3)      Nematoda jaringan yang termasuk filaria non limfatik:
a)   Loa-loa
b)   Onchocerca volvulus
c)    Trichinella spiralis
d)   Toxocara canis dan Toxocara cati
2.2.5. Penyakit yang disebabkan Nemathelminthes kelas Nematoda
1.      Nematoda yang Infestasinya di dalam Usus (Nematoda Intestinal)
1)      Trichuris trichiura
Panjang cacing betina 35-50 mm, sedangkan cacing jantan 30-40 mm. Bentuknya seperti cambuk, bagian anterior kecil seperti benang sedang bagian posteriornya kira-kira 2/5 (dua per lima) dari panjang cacing, jadi lebih besar. Biasanya menempati daerah cecum dan appendix. Menular melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi telurnya.
a)    Gejala Penyakitnya:
Bila infeksi ringan, biasanya asymptomatis (tanpa gejala). Bila jumlah cacingnya banyak, biasanya timbul diarrhea dengan feces yang berlendir, nyeri perut, dehidrasi, anemia, lemah dan berat badan menurun.
b)   Bahan Pemeriksaan untuk Laboratorium:
Sample berupa feces penderita untuk menemukan telur cacingnya.
c)    Pencegahan:
Peningkatan hygiene pribadi, cuci tangan sebelum makan, hindari makan sayuran mentah, dan perbaikan cara pembuangan feces.
2)      Enterobius vermicularis (Oxyuris vermicularis)
Cacing betina panjangnya 8-13 mm, sedangkan cacing jantan 2-5 mm. Cacing betina yang matang bentuknya seperti kumparan dan mempunyai ekor yang langsing memanjang dan runcing. Cacing jantan ekornya melengkung ke arah ventral dan alae caudal lateral mengelilingi Biasanya menempati daerah bagian bawah ileum, cecum dan colon. Menular melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi telurnya. Dapat juga melalui udara yang mengandung telur cacing yang berasal dari pakaian atau tempat tidur penderita lalu terhirup bersama udara pernapasan.
Gambar 1. Daur hidup Enterobius vermicularis (Oxyuris vermicularis)
a)    Gejala Penyakit dan Komplikasinya:
Karena menimbulkan gatal-gatal di anus (pruritus ani) seringkali terjadi autoinfeksi. Bisa juga terjadi retroinfection di mana telur cacing menetas di daerah perianal yang lembab, kemudian larvanya naik ke colon, lalu ke intestinum lewat anus. Infeksi karena Enterobius vermicularis biasanya mengenai semua anggota keluarga dan asymptomatis.
Bila infeksinya berat, biasanya menimbulkan pruritus ani yang hebat, insomnia, gelisah dan anorexia. Pada wanita dapat menimbulkan pruritus vulva dan keputihan.
b)   Bahan Pemeriksaan untuk Laboratorium:
Melakukan perianal swab (apusan perianal) yang dilakukan pagi hari, sebelum penderita mandi dan defecate (buang air besar).
c)    Pencegahan:
Pencegahan dilakukan dengan meningkatkan hygiene pribadi dan menghindari penularan.



3)      Ascaris lumbricoides
Cacing betina, panjangnya 20-35 cm, sedangkan cacing jantan 15-30 cm. Cacing dewasa hidup di usus halus terutama di jejunum. Menular melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi telurnya.
Gambar 2. Daur hidup Ascaris lumbricoides
Siklus hidupnya dimulai bila telur cacing yang berembrio tertelan bersama makanan, menetas di dalam intestinum, menjadi larva. Larva segera menembus dinding pembuluh darah atau lympha dinding intestinum dan dengan aliran darah masuk ke paru-paru, menembus alveolus, naik ke trachea, pindah ke oesophagus, tertelan dan sampai ke intestinum kemudian menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa ini akan menghasilkan telur yang akan keluar bersama feces yang akan mengulangi siklus tadi.
a)    Gejala Penyakit:
a.       Reaksi terhadap larva migran
Sewaktu larva menembus dinding intestinum dan alveolus terjadi perdarahan kecil. Penderita akan demam, batuk-batuk, dan kadang-kadang terjadi hemoptysis.
b.      Reaksi terhadap cacing dewasa
Gejalanya berupa nyeri perut biasanya di daerah epigastrium atau daerah umbilicus, perut buncit, muntah dan kadang-kadang obstipasi.
Seringkali ascariasis tidak menunjukkan gejala sama sekali.
b)   Komplikasi:
Komplikasi yang sering terjadi adalah obstruksi intestinal, baik partial maupun total. Obstruksinya biasa terjadi di daerah ileocecal.
c)    Bahan Pemeriksaan untuk Laboratorium:
Bahan pemeriksaan laboratorium adalah feces penderita untuk menemukan telurnya atau cacing dewasanya.
d)   Pencegahan:
Pencegahan dengan meningkatkan hygiene pribadi dan sanitasi lingkungan. Selain itu, hindari memakan sayuran mentah atau makanan lain yang terkontaminasi telurnya.
4)      Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (Cacing tambang)
a.    Ancylostoma duodenale
Cacing betina, panjang 10-30 mm           diameter 0,60 mm
Cacing jantan, panjang 8-11 mm             diameter 0,45 mm
Mulutnya mempunyai 2 pasang gigi.
b.    Necator americanus
Cacing betina, panjang 9-11 mm             diameter 0,35 mm
Cacing jantan, panjang 5-9 mm               diameter 0,30 mm
Mulutnya mempunyai 2 pasang gigi.
Cacing dewasa hidupnya di dalam intestinum. Penularan penyakit terjadi bilamana larva cacing (bentuk filaria) menembus kulit.
Lingkaran hidup dimulai ketika cacing betina menghasilkan telur. Telur ini keluar bersama feces penderita. Pada tanah yang basah telur menetas menjadi larva bentuk rhabditia, kemudian tumbuh menjadi larva bentuk filaria.
Larva bentuk filaria ini menembus kulit manusia yang tidak terlindungi, masuk ke dalam aliran darah, sampai ke paru-paru, menembus dinding alveolus, naik ke saluran napas bagian atas sampai di epiglotis, pindah ke oesophagus kemudian tertelan, sampai di intestinum, menjadi dewasa dan cacing betinanya menghasilkan telur kemudian mengulangi siklus tadi.
Gambar 3. Daur hidup  Ancylostoma duodenale dan Necator americanus
a)    Gejala Penyakit:
Pada tempat masuknya larva menembus kulit akan menimbulkan rasa gatal. Migrasi larva yang menembus alveolus akan menyebabkan perdarahan-perdarahan kecil, namun sering kali tidak menunjukkan gejala-gejala pneumonia.
Cacing dewasa menghuni intestinum dan mengisap darah sebagai makanannya. Hal ini akan menimbulkan anemia, yang terutama disebabkan oleh perdarahan pada bekas gigitan cacing, karena cacingnya mengeluarkan anticoagulant ketika ia mengisap darah.
Gejala klinik timbul bervariasi bergantung pada beratnya infeksi. Gejala yang sering muncul adalah lemah, lesu, pucat, sesak bila bekerja berat, tidak enak di perut, perut buncit, anemia, dan malnutrisi.
Anemia karena Ancylostoma duodenale dan Necator americanus biasanya berat. Hemoglobin biasanya di bawah 10 gram per 100 cc darah dan jumlah eritrosit di bawah 1.000.000/mm3. Jenis anemianya adalah anemia hypochromic microcytic.
b)   Bahan Pemeriksaan untuk Laboratorium:
Sample yang diperiksa di laboratorium adalah feces penderita, diperiksa dengan mikroskop untuk menemukan telur cacingnya.
c)    Pencegahan:
Pencegahan dilakukan dengan perbaikan cara pembuangan kotoran agar tidak mengotori tanah permukaan, memakai sepatu bila berada di daerah di mana tanahnya terkontaminasi, pengobatan semua penderita untuk menghilangkan sumber penularan.
2.      Nematoda yang Infestasinya di Jaringan Tubuh
Nematoda yang infeksinya di jaringan tubuh biasanya bersifat parasitik pula pada hewan, misalnya pada kucing dan anjing.
1)      Wuchereria bancrofti dan Wuchereria malayi
Wuchereria bancrofti betina panjang 80-100 mm
                              jantan panjang 30-40 mm
Wuchereria malayi betina panjang 50-55 mm
                                jantan panjang 22-23 mm
Wuchereria sp. dalam siklus hidupnya memerlukan serangga (insect) sebagai host intermediate-nya. Cacing dewasa yang hidup di saluran getah bening, setelah kawin akan menghasilkan microfilaria (180-290 mikron) yang masuk ke dalam aliran darah.
Microfilaria ini akan masuk ke dalam tubuh nyamuk, ketika nyamuk mengisap darah manusia, dan berkembang lebih lanjut. Kemudian, menembus dinding usus nyamuk dan berkumpul pada kelenjar ludah nyamuk. Bila nyamuk ini mengisap darah manusia lain, maka terjadi penularan. Mocrofilaria ini akan masuk ke dalam pembuluh lypha dan tumbuh menjadi cacing dewasa.
Nyamuk yang bertindak sebagai vektor penyakit merangkap host intermediate-nya, antara lain Culex fatigans, Aedes aegypti, Anopheles gambiae, Anopheles punctulatus, Anopheles farauti, dan Anopheles sundaicus.
Gambar 4. Daur hidup Wuchereria bancrofti dan Wuchereria malayi
a)    Gejala Penyakit:
Gejala penyakit yang utama adalah peradangan dan penyumbatan saluran getah bening. Jaringan lympha yang sering terkena adalah daerah genitalia dan kaki. Gejala peradangan jaringan lympha. Dapat berupa lympangitis, lympadenitis, dan orchitis (radang testis) yang disertai dengan deman dan gejala radang yang lainya.
Gejala penyumbatan saluran getah bening dapat berupa varices pembuluh lympha dan elephantiasis yang biasanya mengenai kaki dan scrotum.
b)   Bahan Pemeriksaan untuk Laboratorium:
Sample berupa darah dari penderita untuk menemukan microfilarianya.
c)    Pencegahan:
Pencegahan penyakit dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk, pemberantasan nyamuk dan pengobatan semua penderita untuk menghilangkan sumber penularan.
2)      Onchocerca volvulus
Cacing betina panjangnya 33-50 cm, sedangkan cacing jantan panjangnya 19-42 mm.
Cacing dewasa hidupnya didalam kulit dan jaringan subcutan. Onchocerciasis ditularkan oleh lalat penghisap darah, yaitu simulium damnosum, simulium metallicum, dan simulium neavei.
Siklus hidupnya dimulai ketika simulium sp. Mengisap darah penderita yang mengandung microfilaria. Microfilaria dalam perkembangannya menembus dinding usus kemudian menempati bagian mulut dari simulium sp. Selanjutnya, akan menular ke manusia bila lalat ini mengisap darah manusia lainya.
a)    Gejala Penyakit:
Pada tempat gigitan Simulium sp. akan terjadi radang setempat berupa benjolan (nodula).
Nodula ini berkembang sangat lambat dan dalam waktu 3-4 tahun hanya mencapai ukuran 2-3cm.
Benjolan ini jumlahnya bisa hanya beberapa saja, tetapi bisa juga sangat banyak. Kadang-kadang benjolan tadi meradang yang diikuti terjadinya abses. Kelainan patologis yang cukup berat bila infeksinya mengenai mata, yang dapat menimbulkan kebutaan. Gejala awal pada mata berupa konjungtibitis, mata berair dan potophobia yang diikuti keratitis, iritis, dan pecahnya bola mata yang menimbulkan kebutaan.
b)   Bahan Pemeriksaan Laboratorium:
Sample untuk pemeriksaan dilaboratorium diambil dari kelainan kulit atau nodula untuk menemukan microfilarianya.
c)    Pencegahan:
Pencegahan dilakukan dengan menghindari gigitan Simulium sp pemberantasan vektor  penyakit, pengobatan semu penderita untuk menghilangkan sumber penularan.
3)      Loa-loa
Cacing betina panjangnya 50-70 mm, sedangkan cacing jantan panjangnya 30-34 mm microfilianya 250-300 mikron.
Menimbulkan penyakit calabar (Calabar swelling) ditularkan oleh lalat tabanid genus Chrysops, yaitu Chrysops dimidiata, Chrysops sailacea, dan Chrysops distinctipennis.
Siklus hidupnya dimulai ketika microfilaria masuk kelambung chrysops sp. Bersama dengan darah yang dihisapnya. Microfilaria akan masuk kedalam otot thorax dari chrysops sp. Kemudian setelah 10hari akan tumbuh menjadi larva matang, ukuranya kurang lebih 2 mm, yang kemudian akan masuk kebagian mulut chrysops sp. Bila chrysops sp. menggigit manusia lain, larva ini akan masuk kejaringan subkutan dan berkembang menjadi cacing dewasa.
a)    Gejala Penyakit:
Gejala penyakitnya berjalan sangat lambat dan kronis yang ditandai dengan pembengkakan jaringan subkutan yang bisa menghilang secara mendadak karena cacingnya berpindah tempat. Cacing dewasanya didalam jaringan subkutan bergerak sangat cepat sekitar 1 cm/menit.
Benjolan sebesar telur ayam akan menghilang setelah 2-3 hari, biasanya didahului rasa sakit disertai demam dan pruritus (gatal).
b)   Bahan Pemeriksaan Laboratorium:
Sample diambil dari benjolan calabar dan darah untuk menemukan cacing dewasanya atau microfilarianya.
c)         Pencegahan:
Mencegah gigitan chrysops sp. pemberantasan serangga, penggunaan insectisida, dan pengobatan penderita untuk menghilangkan sumber penularan.
4)      Dracunculus medinentis
Cacing betina betina panjangnya sekitar 1 m, sedangkan cacing jantan panjangnya 12-40mm.cacing dewasa hidupnya di dalam jaringan ikat dan jaringan subkutan. Penularan dapat terjadi bila orang minum air yang mengandung larvanya.
a)    Siklus Hidup Cacing:
Bila cacing betina hamil, ia akan bergerak ke tempat jaringan subcutan. Biasanya didaerah kaki. Pada tempat di mana ujung anterior cacing akan mencapai kulit, akan terjadi papula yang akan berubah manjadi vesicula dalam waktu 24- 36 jam. Kemudian, vesikula tersebut pecah dan bila bagian ini terkena air, uterus cacing akan keluar dari lubang kulit ini dan mengeluarkan jumlah besar larva. Ukuran panjang larva 500-700 mikron dan diameter 15-25 mikron.
Untuk menjadi lengkapnya siklus cacing, larva ini harus cepat dimakan oleh sejenis crustacea. Di mana tubuh crustacea larva berkembang menjadi larva matang yang akan menular ke manusia bila crustasea tersebut dimakan manusia. Di dalam jaringan ikat atau jaringan subcutan. Larva tadi kan berkembang menjadi cacing dewasa yang setelah terjadi perkawinan antara cacing jantan dan betina maka siklus hidup tadi akan diulangi lagi. Masa inkubasi antara 8-12 bulan.
b)   Gejala Penyakit:
Selama masa inkubasi (8-12 bulan) tidak ada gejala sama sekali (asymptomatis).
Beberapa jam sebelum munculnya cacing (betina) di bawah kulit akan terjadi erythem, urticaria, dan diarrhea. Pada tempat dimana bagian ujung anterior cacing (betina) mencapai kulit akan menimbulkan rasa gatal dan panas.
c)    Bahan Pemeriksaan untuk Laboratorium:
 Sample di ambil dari benjolan calabar dan darah untuk menemukan cacing dewasanya atau microfilarianya.
d)   Pencegahan:
Menghindari minum air yang mengandung filarianya.
5)      Trichinella spiralis
Cacing betina panjangnya 3-4 mm dengan diameter 60-90 mikron. Cacing jantan 1,4-1,6 mm dengan diameter 40-60 mikron.
Tricinosis menular melalui daging yang mengandung kistanya, bila daging yang dimakan kurang matang.
Siklus hidup dimulai bila kista yang masuk ke traktus digestivus bersama daging yang dimasak kurang matang. Setelah sampai di usus kecil, kistanya akan menembus diding duodenum dan menjadi cacing dewasa dalam beberapa hari. Dalam waktu sekitar 5-7 hari, cacing betina akan hamil dan menembus mucusa intestinum dan mengeluarkan larva. Dalam waktu 3-16 minggu seekor cacing betina bisa mengeluarkan 1.000-1.500 larva.
Larva ini akan masuk ke dalam aliran darah dan memasuki berbagai kista. Sedangkan larva yang berada di dalam darah atau masuk kembali ke dalam aliran darah akan hancur. Di dalam otot manusia kistanya akan mengalami kalsifikasi (pengapuran) dalam waktu 6 (enam) bulan, tetapi tetap hidup selama bertahun-tahun. Sumber penularan bagi manusia terutama adalah daging babi yang mengandung kistanya.
Gambar 5. Daur hidup Trichinella spiralis
a)    Gejala penyakit:
Gejala penyakit berkaitan dengan terjadinya invasi mukosa usus oleh cacing, penetrasi jaringan otot ole larva dan reaksi otot terhadap tumbuhnya kista di dalam otot.
Dua puluh empat jam setelah makan daging yang mengandung kista, timbul nausea, muntah, diarrhea dan sakit di perut. Seminggu kemudian cacing betina akan melahirkan larva dan penetrasi jaringan otot dimulai. Periode ini biasanya terjadi antara hari ke-12 dan hari-14, yang ditandai dengan demam, sakit otot, susah bernapas, sakit mengunyah, sakit menelan dan sakit bila berbicara, kadang-kadang disertai kelumpuhan alat gerak. Biasanya disertai edema disekitar mata dan pembengkakan kelenjar getah bening. Pada periode terjadinya kista di dalam otot dapat terjadi edema, cachexia, dan gejala neurologis.
b)   Bahan Pemeriksaan untuk Laboratorium:
Biopsi otot skelet, misalnya musculus deltoidenus, biceps atau gastrognemius untuk mencari kistanya.
c)    Pencegahan:
Memasak sampai matang setiap daging yang kan dimakan. 
6)      Toxocara canis
Cacing betina panjangya 6,5-10 cm, sedangkan cacing jantan panjangnya 4-6 cm.
Toxocara canis adalah cacing yang host utamanya adalah anjing, tetapi dapat menular kepada manusia melalui makanan dan minuman yang mengandung telurnya.
Feses anjing yang berada di sekitar manusia merupakan sumber terjadinya penyebaran penyakit karena mengandung telur cacing ini.
Telur cacing yang masuk bersama makanan dan minuman, di dalam usus manusia akan menetas menjadi larva. Larva ini akan menembus dinding usus, masuk ke dalam aliran darah dan menyabar ke seluruh jaringan tubuh.
Di dalam tubuh manusia, larva Toxocara canis jarang mencapai bentuk cacing dewasanya karena manusia bukan hots utamanya.
a)      Gejala Penyakit:
Gejala penyakitnya kebanyakan asymptomatis. Pada infestasi yang berat kan muncul gejala demam yang hilang timbul, malaise, pucat, anoreksia, sakit otot dan sendi, perut sakit, nausea, muntah dan berat badan yang tidak mau naik. Penyakitnya biasanya sembuh sendiri setelah 18 (delapan belas) bulan bila tidak ada infeksi ulang.
b)   Bahan Pemeriksaan untuk Laboratorium:
Sample untuk diperiksa di laboratorium adalah darah. Dilakukan hitung jenis leukocyte dan hitung jumlah leukocyte serta test serologis. Sulit untuk menemukan larva dari darah. Telur cacing tidak ditemukan di dalam feses penderita karena Toxocara canis tidak mencapai dewasa di dalam usus manusia.
c)    Pencegahan:
Menghindari kontaminasi makanan dan minuman oleh telur cacing yang biasanya berasal dari kotoran anjing.
Pengobatan pada anjing yang sakit untuk menghilangkan sumber penularan.
2.3.  Platyhelminthes
Platyhelminthes (dalam bahasa yunani, platy=pipih, helminthes=cacing) atau cacing pipih adalah kelompok hewan yang struktur tubuhnya sudah lebih maju dibandingkan porifera dan Coelenterata. Tubuh Platyhelminthes memiliki tiga lapisan sel (triploblastik), yaitu ekstoderm, mesoderm, dan endoderm.
2.3.1. Ciri Tubuh
Ciri tubuh Platyhelminthes meliputi ukuran, bentuk, struktur, dan fungsi tubuh.
a.    Ukuran dan bentuk tubuh
Platyhelminthes memiliki ukuran tubuh beragam, dari yang berukuran hampir microskopis hingga yang panjangnya 20 cm. Tubuh Platyhelminthes simetris bilateral dengan bentuk pipih. Di antara hewan simetris bilateral, Platyhelminthes memiliki tubuh yang paling sederhana.
b.    Struktur dan fungsi tubuh
Platyhelminthes tidak memiliki rongga tubuh (selom) sehingga disebut hewan aselomata. Sistem pencernaan terdiri dari mulut, faring, dan usus (tanpa anus). Usus bercabang-cabang ke seluruh tubuhnya. Platyhelminthes tidak memiliki sistem peredaran darah (sirkulasi). Platyhelminthes juga tidak memiliki sistem respirasi dan eksresi. Pernapasan dilakukan secara difusi oleh seluruh sel tubuhnya.
Proses ini terjadi karena tubuhnya yang pipih. Sistem eksresi pada kelompok Platyhelminthes tertentu berfungsi untuk menjaga kadar air dalam tubuh. Kelompok Platyhelminthes tertentu memiliki sistem saraf tangga tali. Sistem saraf tangga taki terdiri dari sepasang simpul saraf (ganglia) dengan sepasang tali saraf yang memanjang dan bercabang-cabang melintang seperti tangga. Organ reproduksi jantan (testis) dan organ betina (Ovarium). Platyhelminthes terdapat dalam satu individu sehingga disebut hewan hemafrodit. Alat reproduksi terdapat pada bagian ventral tubuh.
2.3.2. Cara Hidup dan Habitat
Platyhelminthes ada yang hidup bebas maupun parasit. Platyhelminthes yang hidup bebas memakan hewan-hewan dan tumbuhan kecil atau zat organik lainnya seperti sisa organisme. Platyhelminthes parasit hidup pada jaringan atau cairan tubuh inangnya. Habitat Platyhelminthes yang hidup bebas adalah di air tawar, laut, dan tempat-tempat yang lembap. Platyhelminthes yang parasit hidup di dalam tubuh inangnya (endoparasit) pada siput air, sapi, babi, atau manusia.
2.3.3. Reproduksi
Reproduksi Platyhelminthes dilakukan secara seksual dan aseksual. Pada reproduksi seksual akan menghasilkan gamet. Fertilisasi ovum oleh sperma terjadi di dalam tubuh (internal). Fertilisasi dapat dilakukan sendiri ataupun dengan pasangan lain. Reproduksi aseksual tidak dilakukan oleh semua Platyhelminthes. Kelompok Platyhelminthes tertentu dapat melakukan reproduksi aseksual dengan cara membelah diri (fragmentasi), kemudian regenerasi potongan tubuh tersebut menjadi individu baru.
2.3.4. Klasifikasi
Platyhelminthes meliputi 2 kelas yang bersifat parasit, yaitu :
1.      Kelas Trematoda
1)      Yang termasuk Trematoda Hati:
a)      Clonorchis sinensis
b)      Opistorchis felineus
c)      Opistorchis viverini
d)      Fasciola hepatica
2)      Yang termasuk Trematoda Paru:
Parogonimus westremani
3)      Yang termasuk Trematoda Usus:
a)      Keluarga Fasciolidae
b)      Keluarga Echinostomatidae
c)      Keluarga Heterophydae
4)      Yang termasuk Termatoda Darah:
a)      Schistosoma haematobium
b)      Schistosoma japonicum
c)      Schistosoma manson
2.      Kelas Cestoda:
a.    Diphyllobothrium latum
b.    Hymenolepis nana
c.    Echinococus granulosus
d.    E. Multiculoris
e.    Taenia saginata
f.      Taenia solium
2.3.5. Penyakit yang Disebabkan Platyhelminthes
1.      Kelas Trematoda
Cacing dewasa, umumnya berbentuk pipih, ada bagian ventral dan bagian dorsalnya. Beberapa spesies ada yang bentuknya agak bulat panjang, ada pula yang bagian anteriornya bulat panjang sedangkan bagian posteriornya pipih melebar.
Alat reproduksinya ada yang jelas terpisah antara cacing jantan dan betina adapula yang hermaprodit. Telur cacing keluar dari tubuh manusia bisa bersama feses (fasciola chlonorcis, fasciolosis, schistosoma mansoni, dan schistosoma japonicum); urina (schistosoma haematobium) atau melalui sputum (paragonimus).
Di dalam air, Telur yang menetas menjadi larva. Dalam perkembanganya memerlukan sejenis mollusca (siput air tawar) sebagai intermediate host. Sebagian besar trematoda memerlukan intermediate host ke-2, dimana larvanya berkembang menjadi kista. Echinostoma ilocanum memerlukan molusca lain, clonorchis sp, memerlukan ikan air tawar, paragonimus sp memerlukan kepiting udang sebagai intermediate host keduanya, sedangkan fasciola sp menempelkan kistanya pada tanan air. Bila manusia memakan host intermediate ke-2 atau tanaman tempat kistanya berada,dalamkedaan mentah atau kurang matang akan terjadi penularan penyakit, dan siklus hidup cacing akan menjadi lengkap.
Gejala penyakit yang disebabkan trematoda tergantung pada :
a.       Ukuran dan banyaknya cacing didalam tubuh.
b.      Organ atau jaringan tubuh yang terinfeksi.
Sejumlah besar cacing kecil dari spesies metagonimus atau heterophyes yang menempel pada mucosa usus halus hanya akan menimbulkan gejala penyakit yang ringan, tetepi fasciolopsis dengan jumlah yang sama di intestinum akan menimbulkan kerusakan lokal yang hebat dan keracunan sistemis.
Sejumlah besar clonorchis atau opistorchis  yang akan menimbulkan reaksi radang pada saluran empedu bagian distal, tidak menimbulkan kerusakan yang berarti pada hati. Akan tetapi, fasciola  yang ukurannya besar dan menyebabkan trauma sewaktu bermigrasi di atara sel-sel hati serta menempati bagian proximal saluran empedu menimbulkan kerusakan yang cukup parah di dalam hati. Kelainan akibat trematoda biasanya lokal dan sistemis. Kelainan lokal berupa ulcerasi, kerusakan jaringan, abscess atau terbentuknya jaringan fibrosis.
Gejala penyakitnya bergantung pada besarnya kerusakan yang terjadi dan organ yang terkena dan apakah kerusakannya permanen (menetap) atau hanya sementara.
Kelainan sistemis biasanya terjadi karena pengaruh toxin (racun) cacing yang terserap ke dalam darah, menimbulkan reaksi leukocytosis, hyperreosinophilia, dan reaksi alergi. Pada infeksi oleh trematoda bisa dibedakan :
a.       Masa inkubasi.
b.      Phase akut.
c.       Phase kronis.
Berkecamuknya penyakit trematoda di suatu daerah, terutama ditentukan oleh adanya mollusca sebagai host intermediate di wilayah tersebut. Sedangkan intermediate host kedua, relatif kurang berperan karena larva trematodanya hanya akan melanjutkan perkembanganya bila bertemu dengan intermediate host kedua tertentu, sedangkan terhadap mollusca tidak terlalu memilih.
Kebiasaan masyarakat di daerah endemi juga sangat menentukan untuk terjadinya infeksi terhadap dirinya maupun penyebaran penyakitnya. Kebiasaan mandi, mencuci, berbasah-basah di sungai, kolam atau sawah di mana terdapat larva schistosoma, berisiko untuk ketularan. Makan sayuran (fasciola), udang atau kepiting (paragonimus), ikan (clonorchis, opisthorchis)  yang kurang matang menyebabkan terjadinya penularan. Cara pembuangan kotoran, urina atau sputum yang tidak benar, menyebabkan pengotoran air dimana intermediate host-nya mendapatkan infeksi. Penderita juga merupakan sumber penularan yang berbahaya bagi masyarakat luas.
Pencegahan penyakit karena trematoda dapat dilakukan dengan :
a.      Pengobatan semua penderita untuk menghilangkan sumber penularan.
b.      Pembuangan kotoran sesuai dengan aturan kesehatan dan kotoran penderita harus didesinfeksi.
c.       Pemberantasan siput air tawar
d.      Pendidikan kesehatan kepada masyarakat agar tidak menggunakan air yang terkontaminasi untuk mandi, mencuci dan sebagainya.
1)      Fasciolopsis buski
Fasciolopsis buski ukuranya antara 50-75 mm, bersifat hermafrodit. Cacing ini menghuni duodenum dan jejunum. Merupakan parasit pada manusia dan babi. Telur cacing keluar dari tubuh manusia bersama feces. Bila telur jatuh ke dalam air tawar, akan menetas menjadi miracidium. Miracidium akan mencari siput genus Hippentis dan Segmentina sebagai host intermediatenya. Di dalam siput, miracidium akan berkembang manjadi sporosyst yang menghasilkan redia kemudian  berkembang menjadi cercaria. Cercaria ini keluar dari siput dan berenang bebas kemudian menjadi kista yang menempel pada tumbuhan air. Dalam keadaan basah, metacercaria (kista) ini dapat tahan selama 1 tahun. Bila metacercaria ini termakan host definitive, maka setelah sampai di intestinum akan berkembang menjadi cacing dewasa.
Gambar 6. Daur hidup Fasciolopsis buski
Fasciolopsis buski menular ke manusia melalui tumbuhan air (sayuran, buah) yang dimakan mentah dan terkontaminasi metacercarianya. Akan berbahaya sekali, sebagai penyebar penyakit, bila jenis tumbuhan tersebut dipasarkan untuk masyarakat luas. Sebagai host intermediatenya adalah siput Segmentina hemisphaerula dan Hippentis cantori. Fasciolopsis buski menempel pada mucosa duodenum dan jejunum. Masa inkubasinya 30-40 hari.
a)    Gejala penyakit:
Bila infeksinya ringan, sering sekali asymptomayis. Pada infeksi yang lebih berat biasanya timbul diarrhea dan constipasi yang silih bergant, sakit perut, feces berwarna kuning kehijauan dengan banyak sisa makanan yang tidak tercerna, anorexia, nausea, muntah dan bertambah kurus (cachexia). Pada infeksi yang berat dapat menyebabkan kematian.
b)   Bahan Pemeriksaan untuk Laboratorium:
Sample untuk pemeriksaan laboratorium adalah feces penderita, untuk menemukan telur cacing atau cacing dewasanya.

c)    Pencegahan:
Pencegahan dilakukan dengan:
1.    Sayuran (makanan) agar di masak sampai matang.
2.    Buang air besar harus sesuai dengan aturan kesehatan (feces tidak boleh mengotori tanah permukaan, air permukaan dan air untuk keperluan rumah tangga).
3.    Feces jangan dipakai sebagai pupuk tanaman.
2)      Clonorchis sinensis
Clonorchis sinensis, panjangnya 10-25mm, lebar 3-5mm, hermafrodit, merupakan parasit di saluran empedu. Menimbulkan penyakit pada manusia, anjing, dan kucing.
a)    Lingkaran Hidup:
Cacing dewasa menghasilkan telur di dalam saluran empedu, telur ini bersama empedu akan masuk ke duodenum dan ke luar tubuh mnusia bersama feces. Bila telur jatuh ke dalam air tawar akan menetas menjadi miracidium yang akan masuk ke dalam siput tertentu, yaitu Parafosarulus manchouricus, Bulimus fuchianus, Alocinma longicornis dan Huangpoensis sp.
Di dalam siput miracidium akan berkembang menjadi sporocyst yang menghasilkan redia. Ke luar dari siput berkembang menjadi cercaria. Cercaria akan masuk ke bawah sisik ikan, selanjutnya masuk ke dalam daging ikan dan berubah manjadi metacercaria (kista). Bila ikan yang mengandung kista ini termakan manusia atau binatang lain, di dalam duodenum, metacercaria akan berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa ini akan masuk ke dalam saluran empedu dan menetap di sana untuk melanjutkan siklus hidupnya.
Ikan yang menjadi hospes intermediatenya kedua dari Clonorchis sinensis adalah kelas Salmnidae, Gobidae, Cyprinidae dan Anabantidae. Ikan-ikan ini hidup di kolam atau di kali. Manusia bisa tertulari Clonorchis sinensis bila makan ikan yang di masak kurang matang, walaupun sebagai ikan asin.
Gambar 7. Daur hidup Clonorchis sinensis
b)   Gejala Penyakit:
Cacing dewasanyan hidup di dalam saluran empedu.
Bila infeksinya ringan, sering kali asymptomatis. Pada infeksi yang lebih berat menimbulkan gejala demam, sakit di daerah epigastrum, diarrhea, anorexia, hepatomegali dan icterus. Pada infeksi yang lebih berat lagi dapat terjadi liver cirrhosis, ascites, edema anasarca, cachexia dan icterus, kematian terjadi karena gangguan fungsi liver.
c)    Bahan Pemeriksaan untuk Laboratorium:
Sample untuk pemeriksaan di laboratorium adalah feces atau cairan dari duodenum untuk menemukan telur cacing atau cacing dewasanya.
Pencegahan:
Pencegahan dilakukan dengan selalu makan ikan air tawar yang di masak sampai matang, perbaikan cara pembuangan kotoran, pengobatan semua penderita untuk menghilangkan sumber penularan.
3)      Fasciola hepatica
Ukuran cacing dewasa panjangnya 25 mm dan lebar 13 mm, bersifat hermafrodit. Cacing dewasanya hidup di dalam saluran empedu dan parenchyma liver. Fasciola hepatica sebenarnya merupakan penyakit terutama pada biri-biri dan kambing. Menular kepada  manusia melalui tanaman air, yang mengandung metacercaria yang dimasak kurang makan atau dimakan mentah.
a)    Lingkaran Hidup:
Telur cacing yang berasal dari feces penderita bila jatuh ke dalam air akan menetas manjadi miracidium. Miracidium akan masuk ke dalam siput dan berkembang menjadi sporocyst. Sporocyst akan berkembang menjadi redia dan keluar dari siput menjadi cercaria. Cercaria akan menempel pada tanaman air atau masuk ke bawah sisik ikan dan berkembang menjadi metacercaria. Metacercaria bila termakan oleh definitive host, di dalam intestinum akan berkembang menjadi larva, kemudian menuju saluran empedu dan tumbuh menjadi cacing dewasa. Hewan yang menjadi definitive hostnya adalah herbivore terutama biri-biri, kambing, kuda, unta, dan beberapa carnivore seperti anjing. Siput yang menjadi host intermediatenya, antara lain genus Lymnaea, Bilimus, Succinea, Practicolllela dan Pomacea. Tanaman air yang di tempeli metacercaria ini akan berbahaya bagi masyarakat bila di jual di pasaran.
b)   Gejala Penyakit:
Bila infeksinya ringan, sering kali asymtomatis. Pada infeksi yang lebih berat timbul gejala demam, urticaria, diarrhea dan icterus.
Fasciola hepatica yang hidup di dalam saluran empedu dan parenchyma liver menimbulkan  peradangan berupa hyperplasia, necrosa dan fibrosis parenchyma liver.
c)    Bahan Pemeriksaan untuk Laboratorium:
Sample untuk pemeriksaan laboratorium berupa feces, bahan dari duodenum atau dari saluran empedu untuk menemukan telur cacing atau cacing dewasanya.
d)   Pencegahan:
Pencegahan dilakukan dengan memberantas siput, tanaman air (sayuran) dari daerah endemis jangan di makan atau dijual di pasaran, hati kambing harus dimasak sampai matang sebelum dimakan.
4)       Paragonimus westermani
Cacing dewasa panjangnya 8-20 mm dan lebar 5-9 mm. Bersifat hermaprodit dan hidup di dalam parenchym paru-paru.
Siklus hidupnya:
Cacing dewasa yang hidup di dalam parenchym paru-paru akan bertelur. Telur akan terangkat ke saluran pernapasan bagian atas, ke luar dari tubuh dengan sputum waktu batuk atau tertelan dan keluar bersama  feces. Bila telur jatuh ke air, akan menetas menjadi miracidium. Miracidium masuk ke dalam tubuh siput, berkembang menjadi sporocyst, kemudian menjadi redia dan keluar dari siput sebagai cercaria. Cercaria akan masuk ke dalam tubuh ketam atau udang, sebagai intermediate host kedua.
Di dalam host intermediate kedua ini, cercaria akan berkembang menjadi metacercaria. Manusia akan tertulari Paragonimus westermani bila makan udang/ketam (crustacea) yang mengandung metacercaria ini, yang dimasak kurang matang. Di dalam duodenum metacercaria akan menetas menjadi larva. Larva ini akan menembus dinding usus, masuk ke dalam aliran darah dan akan sampai di parencym paru-paru untuk berkembang menjadi cacing dewasa di dalam paru-paru. Larva tadi bisa juga sampai di paru-paru setelah menerobos diaphragm untuk kemudian masuk ke parenchym paru-paru.
Siput yang menjadi host intermediate pertama cacing ini, antara lain Semisulcospira libertina, Semisulcospira amurensis, Hua toucheana dan Tarebia granifera. Sedangkan Crustacea sebagai host intermediate kedua, antara lain Cambaroides japonicus, Cambaroides similis, Potamon rathbuni, Potamon denticulatus, Parathelphusa sinensis, dan Sesarma intermedia. Di samping manusia sebagai host definitifnya antara lain kucing, anjing babi.
a)    Gejala Penyakit:
Gejala yang paling sering terjadi pada infeksi Paragonimus westermani adalah bronchitis yang kronik, bronchiectasi dengan batuk yang produktif (banyak sputum) di pagi hari dengan sputum berwarna kecoklatan atau kemerahan kadang-kadang disertai dyspnea. Penyakit ini sering kali dinamakan “endemic hemoptysis” (batuk darah endemis) karena gejala utama yang sering adalah hemoptysis (batuk darah). Pada penyakit yang berat sering disertai pleural effusion dan abscess paru-paru
b)   Bahan Pemeriksaan Untuk Laboratorium:
Sampel untuk pemeriksaan laboratorium adalah sputum dan feces untuk menemukan telur cacingnya.
c)    Pencegahan:
Pencegahan penyakit dilakukan dengan memasak crustacea (udang, ketam, kepiting) sampai matang sebelum dimakan
2.      Kelas Trematoda yang termasuk Termatoda Darah (Schistosoma)
Ada 3 spesies schitosoma yang menimbulkan penyakit pada manusia yaitu: schitosoma haematobium, schitosoma japonicum dan schitosoma mansoni. Cacing ini hidup didalam pembuluh darah manusia. Panjangnya antara 6,5-26 mm, yang betina lebih panjang dari yang jantan. Menular kemanusia karena larvanya (cercaria) menembus kulit yang tidak dilindungi.
Siklus Hidup:
Siklus hidup dimulai ketika cacing jantan membuhai cacing betina didalam pembuluh darah vena. Selanjutnya, cacing jantan akan memegang cacing betina di dalam saluran gynecopheralnya dan membawanya kepembuluh darah vena yang lebih kecil dijaringan mesenterium. Pada schitosoma haemotobium akan membawanya ke sisitem pembuluh vena di daerah pelvis terutama sekitar vesica urinaria dan cacing betina akan melepaskan diri dari jantanya dan menghasilkan telur. Telur-telur ini akan ditempatkan didalam kapiler pembuluh darah. Pada suatu saat telur ini akan dilepaskan kedalam lumen usus atau fesica urine dan keluar dari tubuh bersama feces atau urina.
Didalam air, telur cacing akan menetas menjadi miracidium (embrio yang mempunyai silia). Miracidium ini akan berenang dan masuk kedalam siput tertentu untuk berkembang menjadi sporocyst. Setelah beberapa waktu tertentu, sporocyst akan berkembang menjadi ratusan cercariae, dan keluar dari siput, selanjutnya menulari manusia melalui kulit yang tidak dilindungi.
Waktu yang dibutuhkan sporocyst untuk berkembang menjadi cercaria pada schistosoma haematobium antara 4-8 minggu, schistosoma japonicum antara 5-7 minggu, dan schistosoma mansoni sekitar 4 minggu.
Orang yang dalam pekerjaanya banyak berkaitan dengan air, misalnya waktu menanam padi di sawah, mencuci di sungai, menyeberang kali, ataupun mandi di sungai dapat tertulari schistosoma sp. Cercaria yang menempel di kulit dapat menembus kulit dalam waktu 5 (lima) menit dan dalam waktu 24 jam sudah beredar dengan darah ke seluruh tubuh.
Schistosoma haematobium dan schistosoma mansoni hanya menimbulkan panyakit pada manusia. Sedangkan schistosoma japonicum merupakan parasit pada manusia, kerbau, kuda, ternak, babi, anjing, dan kucing.

Pencegahan penyakit dilakukan dengan:
a.    Pengobatan penderita untuk menghilangkan sumber penularan.
b.   Perbaikan cara pembuangan feces manusi aagar tidak melahirkan miracidium.
c.    Pemberantasan siput molusca dengan moluscicida.
d.   Menghindari kontak dengan air yang mengandung cercariae.
1)      Schistosoma haematobium
Schistosoma haematobium menghuni sistem pembuluh vena di daerah pelvis dan vesica urinaria. Telurnya meruncing seperti duri pada salah satu ujungnya dan keluar dari tubuh penderita bersama urina. Di dalam air tawar telurnya akan menetas menjadi miracidium kemudian masuk ke tubuh siput dan berkembang menjadi sporocyts yang selanjutnya keluar dari siput berupa cercaria.
Siput yang merupakan host intermediate haematobium antara lain genus Bulinus, physopsis dan Bhiompalaria.
a)    Gejala Penyakit:
Masa inkubasinya antara 10-12 minggu.
Gejala awalnya berupa demam, biasanya sore hari, lesu, tidak enak perut, kadang-kadang terjadi urticaria. Sering kencing, disertai rasa panas dan sakit, dan urina bercampur darah (hematuri).
Kelainan phatologis terutama di sebabka berkumpulnya telur cacing pada dinding kandung kencing, kemudian menjadi abces yang pecah ke dalam kandung kencing, sehingga mucus, darah, nanah dan telur cacing akan keluar dari tubuh bersama urina.
b)   Bahan Pemeriksaan untuk Laboratorium:
Sample untuk pemeriksaan laboratorium adalah urina, untuk menemukan telur cacing.
Cacing dapet juga ditemukan dalam feces penderita.
c)    Pencegahan:
Pencegahan sama dengan pencegahan penyakit karena Schistosoma sp. pada umumnya.
2)      Schistisoma japonicum
Sebagai reservoir dari Schistisoma japonicum adalah manusia, kerbau, kuda, ternak, babi, anjing, kucing, dan tikus. Sebagai host intermediatenya adalah siput genus Oncomelania, misalnya Oncomelania quadrasi, Oncomelania formosana, Oncomelania nosophora, dan Oncomelania hupensis.
a)    Gejala Penyakit:
Penumpukan telur cacing di dalam venula dinding intestinum dan colon dimulai setelah 4 (empat) dari infeksinya.
Kumpulan telur ini menimbulkan abscess yang pecah ke dalam lumen usus sehingga feces yang keluar dari tubuh mengandung mucus, nanah, darah dang telur cacing.
Proliferasi sel ephitel di antara abscess menimbulkan terjadi banyak polyp yang menonjol ke dalam lumen usus. Telur cacing yang bersama aliran darah masuk ke dalam hati menyebabkan abscess dan jaringan ikat di dalam hati. Spleen membengkak karena adanya penyumbatan vena porta. Biasanya di ikuti terjadiinya ascites.
Gejala awal penyakit berupa demam biasanya sore hari, lesu, batuk kering, urticaria. Penumpukan telur dalam diding usus dan hati menyebabkan rasa tidak enak dalam perut dan malaise.
Timbul diarrhea, feses dengan lender, nanah, darah, dan telur cacingnya.ada infeksi yang berat, kematian karena gangguan fungsi hati, dapat timbul dalam waktu 1 tahun.
Gizi buruk dan infeksi ulangan merupakan factor penyebab terjadinya kasus yang fatal.
b)   Bahan Pemeriksaan untuk Laboratorium:
Sample untuk pemeriksaan di laboratorium berupa feces penderita atau hasil biopsy rectum.
c)    Pencegahan:
Pencegahan sama dengan penyakit  Schistosoma sp. lainya, tetapi dalam hal ini lebih sulit lagi karena adanya binatang sebagai reservoir cacingnya.
3)      Schistosoma mansoni
Siput sebagai host intermediate-nya adalah Australorbis glabratus, Tropicorbis havanensis, Biomphalaria alexandrina, dan Bhiompalaria pfeifferi.
a)    Gejala Penyakit:
Schistosoma mansoni menempatkan telurnya di dalam kapiler dan venula pada usus besar dan bagian akhir dari usus halus, sebagian telurnya akan terbawa aliran darah ke dalam liver.
Penetrasi kulit oleh cercaria dapat menimbulkan gatal dan ruam kulit. Dua minggu kemudian terjadi demam, malaise, nausea dan rasa tidak enak perut. Penumpukan telur dalam dinding usus menimbulkan diarrhea dengan feces berdarah, perut sakit, berat badan menurun dan anemia.
Kerusakan liver dapat menimbulkan cirrhosis yang progresif yang dapat menimbulkan varices esophagus dan terjadinya hematemesis (muntah darah). Gangguan fungsi liver biasanya berakhir dengan kematian.
b)   Bahan Pemeriksaan untuk Laboratorium:
Sample untuk pemeriksaan di laboratorium adalah feces atau hasil biopsy untuk menemukan telur cacingnya.
c)    Pencegahan:
Pencegahan sama dengan cara pencegahan  Schistosoma  sp. pada umumnya.
3.      Kelas Cestoda
Cestoda (cacing pita) dalam siklus hidupnya ada yang memerlukan air untuk menetaskan telurnya ada yang tidak (cukup dengan tanah). Yang memerlukan air contohnya Diphyllobothrium latum sedangkan yang lainnya tidak memerlukan air.
Dalam penularannya kepada manusia ada yang memerlukan intermediate host misalnya Hymenolepis nana, sedangkan yang lainnya memerlukan 1 (satu) atau 2 (dua) jenis intermediate host.
Ukuran cacing dewasanya bervariasi dari yang panjangnya hanya 40 (empat puluh) mm (misalnya Hymenolepis nana) sampai yang panjangnya 10-12 meter (misalnya Taenia saginata dan Diphyllobothrium latum).
Cestoda adalah cacing hermafrodit. Cacing ini terdiri atas scolex (atau kepala) yang berfungsi sebagai alat untuk melekatkan (kaitan) diri pada dinding intestinum. Di belakang scolex terdapat leher, merupakan bagian cacing yang tidak bersegmen. Di belakang leher tumbuh proglottid yang semakin lama, semakin banyak yang menyebabkan cacing menjadi semakin panjang dan bersegmen-segmen. Setiap proglottid (segmen) dilengkapi dengan alat reproduksi (jantan dan betina). Semakin jauh dari scolex proglottidnya semakin tua, sehingga proglottidnya yang paling ujung seolah-olah hanya sebagai kantung telur saja, sehingga disebut proglottid gravida.
Proglottid muda selalu dibentuk di belakang leher, sehingga proglottid tua akan terdorong semakin lama semakin jauh letaknya dari scolex. Seluruh cacing mulai scolex, leher sampai proglottid yang terakhir (proglottid gravida) disebut strobila.
Cestoda berbeda dengan nematode dan trematoda, tidak mempunyai usus. Makanan masuk ke dalam tubuh cacing karena diserap oleh permukaan sel cacing.
1)      Diphyllobothrium latum
Bersifat hermafrodit. Cacing dewasa panjangnya dapat mencapai 10 (sepuluh) meter. Menempel pada dinding intestinum dengan scolex. Panjang scolex dengan lehernya 5-10 mm jumlah proglottidnya bias mencapai 3.000 (tiga ribu) atau lebih. Satu cacing bias mengeluarkan 1.000.000 (satu juta) telur setiap harinya.
a)    Siklus Hidup
Telur Diphyllobothrium latum harus jatuh ke dalam air agar bias menetas menjadi coracidium. Coracidium (larva) ini harus dimakan oleh Cyclops atau Diaptomus untuk bias melanjutkan siklus hidupnya. Di dalam tubuh Cyclops larva akan tumbuh menjadi larva procercoid.
Bila Cyclops yang mengandung larva procercoid dimakan oleh ikan tertentu (intermediate host kedua), maka larva cacing akan berkembang menjadi plerocercoid. Plerocercoid ini akan berada di dalam daging ikan.
Bila daging ikan yang mengandung plerocercoid ini dimakan manusia, maka akan terjadi penularan. Di dalam intestinum manusia, plerocercoid akan berkembang menjadi cacing dewasa.
b)   Gejala Penyakit
Biasanya asymptomatis, tetapi kadang-kadang berupa perut sakit, berat badan menurun dan anemia.
c)    Bahan Pemeriksaan untuk Laboratorium
Sample berupa feces untuk pemeriksaan adanya telur cacing.
d)   Pencegahan
Ikan harus dimasak sampai matang sebelum dimakan.
2)      Taenia solium
Cacing dewasa bisa mencapai 2-7 meter. Bersifat hermafrodit. Cacing dewasanya menempel pada dinding intestinum dengan scolexnya sedangkan cysticercusnya terdapat di jaringan otot atau jaringan subcutan.


a)    Lingkungan Hidup
Telur keluar dari proglottid gravida, baik setelah proglottid lepas dari strobila, ataupun belim, keluar dari tubuh manusia bersama feces.
Telur yang jatuh di tanah bila termakan manusia atau babi sampai di intestinum, akan menetas kemudian menembus dinding intestinum masuk ke dalam  aliran lympha atau aliran darah dan beredar ke seluruh tubuh. Sebagian besar akan masuk ke dalam otot atau ke dalam jaringan subcutan. Dalam waktu 60-70 hari akan berkembang menjadi cysticercus yang menetap di dalam otot atau jaringan subcutan.
Bila manusia makan daging babi yang mengandung cysticercus, maka cysticercus ini di dalam intestinum akan menetas menjadi larva dan dalam waktu 5-12 minggu tumbuh menjadi cacing dewasa yang menetap di dalam intestinum.
Dalam hubungan ini sebagai definitif hostnya adalah manusia sedangkan sebagai intermediate hostnya adalah babi.
Bila manusia bertindak sebagai definitif host, maka Taenia solium-nya berada di dalam intestinumnya. Hal ini terjadi bila manusia makan daging yang mengandung cysticercus Taenia solium.
Bila manusia bertindak sebagai intermediate host, maka cysticercus Taenia solium berada di dalam jaringan otot atau jaringan subcutan. Hal ini terjadi bila manusia makan makanan yang terkontaminasi ole telur Taenia solium. Infeksi pada manusia umumnya terjadi melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi telur cacingnya. Telur cacing dapat berasal dari penderita yang mengandung cacing dewasanya ataupun  karena autoinfeksi dari penderita sendiri (feces-tangan-mulut). Hewan lain, seperti ternak dan anjing dapat mengandung cysticercus di dalam dagingnya karena terinfeksi oleh telur Taenia solium.
b)   Gejala Penyakit
Cacing dewasa yang berada di dalam intestinum jarang menimbulkan gejala. Gejala yang sering muncul adalah sakit epigastrum, nafsu makan meningkat, lemah dan berat badan menurun.
Gejala yang disebabkan adanya cysticercus di dalam jaringan tubuh, bervariasi bergantung pada organ yang terkena dan banyaknya cysticercus. Bila jumlahnya sedikit dan hanya tersebar di jaringan subcutan, biasanya asymptomatis atau hanya berupa benjolan kecil-kecil di bawah kulit (subcutan).
Bila cysticercus berada di jaringan otak, sumsum tulang belakang, mata atu otot jantung akibatnya menjadi serius bahkan bias mematikan.
c)    Bahan Pemeriksaan untuk Laboratorium
Sample berupa feces penderita untuk mencari proglottid dan telur cacingnya.
d)   Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan memasak daging sampai matang sebelum dimakan.
Perbaikan cara pembuangan kotoran, peningkatan hygiene pribadi, menjaga kebersihan makanan dan minuman dan mengobati semua penderita untuk menghilangkan sumber penularan.
3)      Taenia saginata
Taenia saginata bersifat hermafrodit. Cacing dewasa panjangnya antara 5-10 meter. Hidup di dalam intestinum.
a)    Siklus Hidup
Telur cacing yang keluar bersama feces penderita bila jatuh di tanah dan termakan oleh sapi atau kerbau, di dalam intestinum sapi akan menetas menjadi larva. Larva ini akan menembus dinding usus, masuk ke dalam aliran darh dan menyebar ke seluruh tubuh sapi. Bila sampai ke jaringan otot, akan menetap dan berkembang menjadi cysticercus. Manusia, yang bersifat sebagai host definitif akan tertulari Taenia saginata bila memakan daging sapi yang mengandung cysticercus yang dimasak kurang matang. Di dalam intestinum cysticercus akan menetas dan berkembang menjadi cacing dewasa. Dalam waktu 12 (dua belas) minggu sudah dapat menghasilkan telur lagi.
b)   Gejala Penyakit
Biasanya asymptomatis. Pada infeksi yang berat dapat timbul gejala sakit epigastrum, nafsu makan bertambah, lemas, dan berat badan berkurang. Kadang-kadang disertai vertigo, nausea, muntah, sakit kepala dan diarrhea.
c)    Bahan Pemeriksaan untuk Laboratorium
Sample untuk pemeriksaan di laboratorium adalah feces untuk menemukan telur cacingnya dan proglottidnya.
d)   Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan memasak daging sampai matang sebelum dimakan. Hanya hewan yang sehat saja yang boleh dipotong dan dagingnya boleh diperjualbelikan.
4)      Echinococcus granulosus
Bersifat hermafrodit. Echinococcus granulosus adalah cestoda yang paling kecil. Panjang cacing hanya 1,5-6 mm. Cacing ini terdiri atas scolex, 1 (satu) proglottid muda, 1 (satu) proglottid tua dan 1 (satu) proglottid gravida. Sebagai host definitifnya dalah anjing, sedangkan manusia sebagai host intermediatenya.
Manusia tertulari cacing ini karena makan makanan atau minuman yang terkontaminasi telur Echinococcus granulosus yang berasal dari feces anjing yang sakit.
Di dalam duodenum telur akan menetas menjadi larva. Larva ini akan menembus dinding duodenum, masuk ke dalam aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Sekitar 60-70% dari larva akan menjadi kista hydatid (hydatidcyst) di dalam liver. Di alam siklus hidup Echinococcus granulosus akan menjadi lengkap bila kista hydatid ini dimakan oleh carnivore, misalnya anjing.
Selaku intermediate host selain manusia adalah biri-biri, ternak, dan babi. Bahan yang berbahaya untuk penularan adalah kotoran anjing yang mengandung telur cacingnya.
a)    Gejala Penyakit
Pada awalnya kista hydatid ini tidak menimbulkan gejala. Akan tetapi, dengan semakin membesarnya kista, timbul gejala, baim objeltif maupun subjektif. Gejala yang sering dirasakan adalah nausea, muntah, sakit perut bagian atas kanan, kolik saluran empedu dan icterus.
Bila kista terjadi di dalam tulang, bisa terjadi fraktur yang spontan. Bila kista terjadi di otak, dapat menimbulkan epilepsi, buta atau gejala neurologis lainnya.
b)   Bahan Pemeriksaan untuk Laboratorium
Bila kista hydatid di dalam paru-paru pecah, maka sample yang diambil adalah sputum penderita.
c)    Pencegahan
Pencegahan penyakit dengan menjaga kebersihan makanan dan minuman serta hygiene pribadi.
Definitif host, khususnya anjung yang menderita penyakit Echinococciasis, agar diobati untuk menghilangkan sumber penularan.
Peningkatan sanitasi lingkungan terutama menjauhkan diri dari kotoran anjing.
5)      Hymenolepis nana
Bersifat hermafrodit, panjangnya 25-40 mm, dan lebarnya 1 (satu) mm. menimbulkan penyakit pada manusia dan tikus. Cacing dewasanya hidup di dalam intestinum.
Penularan penyakitnya tidak memerlukan host intermediate. Manusia bias tertulari melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi telur Hymenolepis nana.
Telur yang masuk bersama makanan atau minuman setelah sampai di dalam duodenum, akan menetas menjadi oncosphere. Oncosphere akan menembus villus usus dan berkembang menjadi cysticercus. Setelah matang, cysticercus akan menghasilkan prasit-parasit yang akan berkembang menjadi cacing dewasa dan menetap di antara villi usus.
a)    Gejala Penyakit
Penyakitnya sering kali asymptomatis. Bila infeksinya berat, akan timbul diarrhea dan sakit di perut.
b)   Bahan Pemeriksaan untuk Laboratorium
Sample berupa feces penderita, diperiksa untuk menemukan telur cacing Hymenolepis nana.
c)    Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan menjaga kebersihan makanan dan minuman, meningkatkan hygiene pribadi, perbaikan cara pembuangan feces, pemberantasan tikus untuk menghindari penularan dari tikus dan pengobatan penderita untuk menghilangkan sumber penularan.
2.4. Cara Pemberantasan dan Pencegahan Infeksi Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah
Setelah dipahami karakteristik masing-masing spesies serta cara pencegahannya maka pada bagian ini dapat dibuat suatu resume tentang cara pemberantasan dan pencegahan infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah. Untuk memberantas cacing harus memutuskan rantai daur hidupnya, yang dapat dilakukan dengan dua metode yaitu pencegahan dan pengobatan. Pada prinsipnya untuk cacing-cacing yang ditularkan melalui tanah memutuskan daur hidup dapat dilakukan dengan:
a.    Membuang air besar hendaknya dilakukan di jamban, tidak di sungai, kebun, atau halaman. Ini dimaksudkan untuk mencegah tinja penderita mencemari tanah sehingga telur cacing tidak tumbuh menjadi stadium infektif yang dapat menjangkiti orang lain.
b.    Menjaga kebersihan perorangan misalnya dengan selalu mencuci tangan dengan air bersih sebelum dan sesudah makan dan minum sehingga telur cacing yang infektif tidak tertelan. Buah dan sayuran sebelum dimakan hendaknya dicuci atau lebih baik kalau dimasak lebih dahulu.
c.    Pemupukan tanaman dengan tinja segar manusia sebaiknya ditiadakan, dan penyiraman sayuran yang biasanya dimakan mentah hendaknya disiram dengan mempergunakan air bersih.
d.   Menjaga kebersihan lingkungan rumah dan halaman. Biasakan menggunakan sandal atau alas kaki jika berjalan di kebun. Bila berkebun dianjurkan menggunakan sarung tangan. Selain untuk mencegah masuknya larva infektif cacing tambang juga mencegah tercemarnya tangan dengan telur infektif cacing tambang, gelang dan cambuk.
e.    Mengobati penderita, penderita sebagai satu-satunya sumber infeksi cacing usus. Dengan mengobati penderita maka sumber penularan yaitu cacing dewasa yang hidup di usus penderita dapat dibasmi, sehingga produksi telur terhenti.

















BAB III
PENUTUP

3.1.  Kesimpulan
Helmintologi adalah ilmu cabang dari parasitologi. Helmintologi, diadopsi dari kata helmintos yang artinya cacing, dan logos yang artinya ilmu. Sementara Parasitologi berasal dari kata parasitos yang artinya organisme yang mengambil makan, dan logos yang artinya ilmu, telaah. Helmintologi merupakan suatu bidang ilmu tentang cacing yang berperan sebagai parasit. Cacing yang bersifat parasit pada manusia termasuk dalam 2 golongan besar, yaitu cacing bulat (Nemathelminthes) dan cacing pipih (Platyhelminthes). Dari Nemathelminthes yang terpenting adalah kelas Nematoda sedangkan dari Platyhelminthes adalah kelas Trematoda dan Cestoda.
Masalah kecacingan di masyarakat, selalu identik dengan kondisi sanitasi dan personal hygiene. Karena identik itulah maka permasalahan tentang kecacingan di Indonesia berbeda dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya.
Untuk memberantas cacing harus memutuskan rantai daur hidupnya, yang dapat dilakukan dengan dua metode yaitu pencegahan dan pengobatan. Metode pencegahan dilakukan dengan cara: perbaikan cara pembuangan kotoran agar tidak mengotori tanah permukaan, memakai sepatu bila berada di daerah di mana tanahnya terkontaminasi, menjaga kebersihan perorangan misalnya dengan selalu mencuci tangan dengan air bersih sebelum dan sesudah makan dan minum sehingga telur cacing yang infektif tidak tertelan. Metode pengobatan dilakukan dengan cara: pengobatan semua penderita untuk menghilangkan sumber penularan.
3.2.  Saran
Perlunya menjaga kebersihan diri dan lingkungan untuk mencegah penyakit cacing. Selain itu, pengolahan makanan maupun minuman harus dengan cara yang benar agar tidak tercemar oleh telur cacing. Dilakukannya pengobatan pada penderita untuk menghilangkan sumber penularan.






DAFTAR PUSTAKA

Entjang, dr. Indan. (2003). Mikrobiologi dan Parasitologi untuk Akademi Keperawatan dan Sekolah Tenaga Kesehatan yang Sederajat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Jangkung S O. (2000). Parasitologi Medik. 1. Helmintologi. Jakarta: EGC
Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (2005). Mikrobiologi dan Parasitologi Kedokteran. Jakarta: FKUI


1 komentar:

  1. Stainless Steel G650Ti Classic Glasses with - TitaniumArt
    Stainless Steel G650Ti titanium for sale Classic Glasses with Glasses micro touch titanium trim with Steel microtouch trimmer Heads. Glass-making Stainless Steel Heads Glass Rings. Titanium Art is a citizen promaster titanium premium craft glass $44.00 · infiniti pro rainbow titanium flat iron ‎In stock

    BalasHapus