BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Penyakit karena cacing
(helminthiasis), banyak tersebar di seluruh dunia, terutama di daerah tropis.
Hal ini berkaitan dengan faktor cuaca dan tingkat sosio-ekonomi masyarakat.
Kebanyakan cacing
memerlukan suhu dan kelembaban udara tertentu untuk hidup dan berkembang biak.
Sebagian cacing memerlukan vertebrata atau invertebrata tertentu sebagai host,
misalnya ikan, siput, crustacea atau serangga, dalam siklus (lingkaran)
hidupnya. Di daerah tropis, host-host ini juga banyak berhubungan dengan
manusia, karena tidak adanya pegendalian dari masyarakat setempat.
Serangga, seperti
nyamuk dan lalat pengisap darah, di samping sebagai intermediate host, juga
merupakan bagian dari lingkaran hidup cacing. Penyebaran telur cacing yang ke
luar bersama feses penderita, tidak hanya berkaitan dengan cuaca, seperti
hujan, suhu dan kelembaban udara, tetapi juga berkaitan dengan pengetahuan dan
kesadaran masyarakat tentang sanitasi. Kebiasaan penggunaan feses manusia
sebagai pupuk tanaman menyebabkan semakin luasnya pengotoran tanah, persediaan
air rumah tangga dan makanan tertentu, misalnya sayuran, akan meningkatkan
jumlah penderita helminthiasis.
Demikian juga kebiasaan
makan masyarakat, menyebabkan terjadinya penularan penyakit cacing tertentu.
Misalnya, kebiasaan makan ikan, kerang, daging atau sayuran secara mentah atau
setengah matang. Bila di dalam makanan tersebut terdapat kista atau larva
cacing, maka siklus hidup cacingnya menjadi lengkap, sehingga terjadi infeksi
pada manusia. Berbeda dengan infeksi oleh organisme lain (bakteri, rikettsia,
virus, jamur, protozoa), pada infeksi karena cacing, cacing dewasanya tidak
pernah bertambah banyak di dalam tubuh manusia.
Kelainan patologis
karena infeksi cacing bisa bervariasi bergangung pada jenis cacingnya.
Misalnya, Ancylostoma duodenale,
mengisap darah setelah melukai usus halus (intestinum) dengan “giginya”. Taenia saginata, menyerap makanan dari
usus halus sedangkan Toxocara canis,
penyebab penyakit cacing pada anjing, di dalam tubuh manusia hanya terdapat
dalam bentuk larvanya, yang bermigrasi bersama aliran darah masuk ke berbagai
organ tubuh, seperti liver, paru-paru, dan otak. Trichinella spiralis “bersarang” dalam bentuk kista di dalam otot. Dracunculus medinensis menyerang jaringan
ikat dan jaringan subcutis. Wuchereria
bancrofti yang hidup di dalam pembuluh lympha, menimbulkan peradangan yang
akut maupun kronis yang bisa diikuti dengan tersumbatnya saluran lympha. Telur Schistosoma haematobium yang bertumpuk
pada dinding kandung kencing (vesica urinaria) menimbulkan ulcerasi dan
perdarahan. Selanjutnya, iritasi (rangsangan) mekanis atau kimiawi dari telur
cacing yang dapat merangsang terjadinya hyperplasia atau metaplasia yang dapat
menimbulkan carcinoma. Dapat disimpulkan bahwa berat-ringannya serta jenis
perubahan patologis akibat infeksi cacing bisa bervariasi, dapat menimbulkan
gejala akut maupun kronis.
1.2.Rumusan
Masalah
Rumusan masalah yang
muncul adalah:
1. Apa
itu helmintologi?
2. Bagaimana
mekanisme cacing bisa menyebabkan penyakit?
3. Apa
penyebab terjadinya penularan penyakit cacing?
4. Bagaimana
cara mengatasi penyakit cacing?
1.3.Tujuan
Tujuan dari penulisan
ini adalah:
1. Mengetahui
apa itu helmintologi.
2. Mengetahui
mekanisme cacing bisa menyebabkan penyakit.
3. Mengetahui
penyebab terjadinya penularan penyakit cacing.
4. Mengetahui
cara mengatasi penyakit cacing.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Helmintologi
Helmintologi adalah
ilmu cabang dari parasitologi. Helmintologi, diadopsi dari kata helmintos yang artinya cacing, dan logos yang artinya ilmu. Sementara
Parasitologi berasal dari kata parasitos
yang artinya organisme yang mengambil makan, dan logos yang artinya ilmu, telaah. Helmintologi merupakan suatu
bidang ilmu tentang cacing yang berperan sebagai parasit.
(Jangkung, 2002)
Dalam kaitan dengan
masalah kesehatan, maka parasitologi medik mempelajari parasit yang
menghinggapi manusia dapat menyebabkan penyakit dan bahkan kematian.
Dalam bidang kedokteran
dikenal sebagai ilmu yang mempelajari infeksi kecacingan pada manusia, apakah
itu menyangkut infeksi kecacingan, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
infeksi kecacingan, dampak yang ditimbulkan oleh infeksi karena cacing, serta
upaya pencegahan dan pengobatan infeksi kecacingan tersebut.
Cacing yang bersifat
parasit pada manusia termasuk dalam 2 golongan besar, yaitu cacing bulat
(Nemathelminthes) dan cacing pipih (Platyhelminthes). Dari Nemathelminthes yang
terpenting adalah kelas Nematoda sedangkan dari Platyhelminthes adalah kelas
Trematoda dan Cestoda.
(Indan Entjang,
2003)
2.2. Nemathelminthes
Nemathelminthes berasal
dari bahasa yunani, nema=benang, helminthes=cacing) disebut sebagai
cacing gilig ukaran tubuhnya berbentuk bulat panjang atau seperti benang.
Berbeda dengan Platyhelminthes yang belum memiliki rongga tubuh, Nemathelminthes
sudah memiliki rongga tubuh meskipun bukan rongga tubuh sejati. Oleh karena
memiliki rongga tubuh semu, Nemathelminthes disebut sebagai hewan Pseudoselomata.
2.2.1. Ciri Tubuh
Ciri tubuh Nemathelminthes meliputi
ukuran, bentuk, struktur, dan fungsi tubuh.
a. Ukuran
dan bentuk tubuh
Ukuran tubuh
Nemathelminthes umunya mikroskopis, meskipun ada yang panjangnya sampai 1
meter. Individu betina berukuran lebih besar daripada individu jantan. Tubuh
berbentuk bulat panjang atau seperti benang dengan ujung-ujung yang meruncing.
b. Struktur
dan fungsi tubuh
Permukaan tubuh Nemathelminthes
dilapisi kutikula untuk melindungi diri. Kutikula ini lebih kuat pada cacing
parasit yang hidup di inang daripada yang hidup bebas. Kutikula berfungsi untuk
melindungi diri dari enzim pencernaan inang. Nemathelminthes memiliki sistem
percenaan yang lengkap terdiri dari mulut, faring, usus, dan anus. Mulut
terdapat pada ujung anterior, sedangkan anus terdapat pada ujung posterior. Beberapa
Nemathelminthes memiliki kait pada mulutnya.
Nemathelminthes tidak memiliki
pembuluh darah. Makanan diedarkan keseluruh tubuh melalui cairan pada
pseudoselom. Nemathelminthes tidak memiliki sistem respirasi, pernapasan
dilakukan secara difusi melalui permukaan tubuh. Organ reproduksi jantan dan betina
terpisah dalam individu berbeda.
2.2.2. Cara Hidup dan Habitat
Nemathelminthes hidup bebas atau
parasit pada manusia, hewan, dan tumbuhan. Nemathelminthes yang hidup bebas
berperan sebagai pengurai sampah organik, sedangkan yang parasit memperoleh
makanan berupa sari makanan dan darah dari tubuh inangnya. Habitat cacing ini
berada di tanah becek dan di dasar perairan tawar atau laut. Nemathelminthes
parasit hidup dalam inangnya.
2.2.3. Reproduksi
Nemathelminthes umumnya melakukan
reproduksi secara seksual. Sistem reproduksi bersifat gonokoris, yaitu organ
kelamin jantan dan betina terpisah pada individu yang berbeda. Fertilisasi
terjadi secara internal. Telur hasil fertilisasi dapat membentuk kista dan
kista dapat bertahan hidup pada lingkungan yang tidak menguntungkan.
2.2.4. Klasifikasi
Nematoda merupakan salah satu kelas
dari filum Nemathelminthes yang berperan sebagai parasit terhadap manusia,
meliputi:
1) Nematoda
Usus:
a)
Ascaris
lumbricoides
b)
Necator
americanus dan Ancylostoma duodenale
c)
Ancylostoma
braziliense dan Ancylostoma caninum
d)
Trichuris
trichiura
e)
Strongyloides
stercoralis
f)
Enterobius
vermicularis/Oxyuris vermicularis
2) Nematoda
jaringan yang termasuk filaria limfatik:
a)
Wuchereria
bancrofti
b)
Brugia
malayi
c)
Brugia
timori
3) Nematoda
jaringan yang termasuk filaria non limfatik:
a)
Loa-loa
b)
Onchocerca
volvulus
c)
Trichinella
spiralis
d)
Toxocara
canis dan Toxocara cati
2.2.5. Penyakit yang disebabkan
Nemathelminthes kelas Nematoda
1.
Nematoda
yang Infestasinya di dalam Usus (Nematoda Intestinal)
1) Trichuris trichiura
Panjang cacing betina 35-50
mm, sedangkan cacing jantan 30-40 mm. Bentuknya seperti cambuk, bagian anterior
kecil seperti benang sedang bagian posteriornya kira-kira 2/5 (dua per lima)
dari panjang cacing, jadi lebih besar. Biasanya menempati daerah cecum dan
appendix. Menular melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi telurnya.
a) Gejala
Penyakitnya:
Bila
infeksi ringan, biasanya asymptomatis (tanpa gejala). Bila jumlah cacingnya
banyak, biasanya timbul diarrhea dengan feces yang berlendir, nyeri perut,
dehidrasi, anemia, lemah dan berat badan menurun.
b) Bahan
Pemeriksaan untuk Laboratorium:
Sample
berupa feces penderita untuk menemukan telur cacingnya.
c) Pencegahan:
Peningkatan
hygiene pribadi, cuci tangan sebelum makan, hindari makan sayuran mentah, dan
perbaikan cara pembuangan feces.
2) Enterobius vermicularis (Oxyuris
vermicularis)
Cacing betina
panjangnya 8-13 mm, sedangkan cacing jantan 2-5 mm. Cacing betina yang matang
bentuknya seperti kumparan dan mempunyai ekor yang langsing memanjang dan
runcing. Cacing jantan ekornya melengkung ke arah ventral dan alae caudal
lateral mengelilingi Biasanya menempati daerah bagian bawah ileum, cecum dan
colon. Menular melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi telurnya. Dapat
juga melalui udara yang mengandung telur cacing yang berasal dari pakaian atau
tempat tidur penderita lalu terhirup bersama udara pernapasan.
Gambar
1.
Daur hidup Enterobius vermicularis
(Oxyuris vermicularis)
a) Gejala
Penyakit dan Komplikasinya:
Karena menimbulkan
gatal-gatal di anus (pruritus ani) seringkali terjadi autoinfeksi. Bisa juga
terjadi retroinfection di mana telur cacing menetas di daerah perianal yang
lembab, kemudian larvanya naik ke colon, lalu ke intestinum lewat anus. Infeksi
karena Enterobius vermicularis biasanya
mengenai semua anggota keluarga dan asymptomatis.
Bila infeksinya berat,
biasanya menimbulkan pruritus ani yang hebat, insomnia, gelisah dan anorexia.
Pada wanita dapat menimbulkan pruritus vulva dan keputihan.
b) Bahan
Pemeriksaan untuk Laboratorium:
Melakukan perianal swab
(apusan perianal) yang dilakukan pagi hari, sebelum penderita mandi dan
defecate (buang air besar).
c) Pencegahan:
Pencegahan dilakukan
dengan meningkatkan hygiene pribadi dan menghindari penularan.
3) Ascaris lumbricoides
Cacing betina,
panjangnya 20-35 cm, sedangkan cacing jantan 15-30 cm. Cacing dewasa hidup di
usus halus terutama di jejunum. Menular melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi telurnya.
Gambar
2.
Daur hidup Ascaris lumbricoides
Siklus hidupnya dimulai
bila telur cacing yang berembrio tertelan bersama makanan, menetas di dalam
intestinum, menjadi larva. Larva segera menembus dinding pembuluh darah atau
lympha dinding intestinum dan dengan aliran darah masuk ke paru-paru, menembus alveolus,
naik ke trachea, pindah ke oesophagus, tertelan dan sampai ke intestinum
kemudian menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa ini akan menghasilkan telur yang
akan keluar bersama feces yang akan mengulangi siklus tadi.
a) Gejala
Penyakit:
a. Reaksi
terhadap larva migran
Sewaktu larva menembus
dinding intestinum dan alveolus terjadi perdarahan kecil. Penderita akan demam,
batuk-batuk, dan kadang-kadang terjadi hemoptysis.
b. Reaksi
terhadap cacing dewasa
Gejalanya berupa nyeri
perut biasanya di daerah epigastrium atau daerah umbilicus, perut buncit,
muntah dan kadang-kadang obstipasi.
Seringkali ascariasis tidak
menunjukkan gejala sama sekali.
b) Komplikasi:
Komplikasi yang sering terjadi
adalah obstruksi intestinal, baik partial maupun total. Obstruksinya biasa
terjadi di daerah ileocecal.
c) Bahan
Pemeriksaan untuk Laboratorium:
Bahan pemeriksaan laboratorium
adalah feces penderita untuk menemukan telurnya atau cacing dewasanya.
d) Pencegahan:
Pencegahan dengan meningkatkan
hygiene pribadi dan sanitasi lingkungan. Selain itu, hindari memakan sayuran
mentah atau makanan lain yang terkontaminasi telurnya.
4) Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus (Cacing tambang)
a. Ancylostoma duodenale
Cacing betina, panjang 10-30 mm diameter 0,60 mm
Cacing jantan, panjang 8-11 mm diameter 0,45 mm
Mulutnya mempunyai 2 pasang gigi.
b. Necator americanus
Cacing betina, panjang 9-11 mm diameter 0,35 mm
Cacing jantan, panjang 5-9 mm diameter 0,30 mm
Mulutnya mempunyai 2 pasang gigi.
Cacing
dewasa hidupnya di dalam intestinum. Penularan penyakit terjadi bilamana larva
cacing (bentuk filaria) menembus kulit.
Lingkaran
hidup dimulai ketika cacing betina menghasilkan telur. Telur ini keluar bersama
feces penderita. Pada tanah yang basah telur menetas menjadi larva bentuk
rhabditia, kemudian tumbuh menjadi larva bentuk filaria.
Larva
bentuk filaria ini menembus kulit manusia yang tidak terlindungi, masuk ke
dalam aliran darah, sampai ke paru-paru, menembus dinding alveolus, naik ke
saluran napas bagian atas sampai di epiglotis, pindah ke oesophagus kemudian
tertelan, sampai di intestinum, menjadi dewasa dan cacing betinanya
menghasilkan telur kemudian mengulangi siklus tadi.
Gambar 3.
Daur hidup Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus
a) Gejala
Penyakit:
Pada
tempat masuknya larva menembus kulit akan menimbulkan rasa gatal. Migrasi larva
yang menembus alveolus akan menyebabkan perdarahan-perdarahan kecil, namun
sering kali tidak menunjukkan gejala-gejala pneumonia.
Cacing
dewasa menghuni intestinum dan mengisap darah sebagai makanannya. Hal ini akan
menimbulkan anemia, yang terutama disebabkan oleh perdarahan pada bekas gigitan
cacing, karena cacingnya mengeluarkan anticoagulant ketika ia mengisap darah.
Gejala
klinik timbul bervariasi bergantung pada beratnya infeksi. Gejala yang sering
muncul adalah lemah, lesu, pucat, sesak bila bekerja berat, tidak enak di
perut, perut buncit, anemia, dan malnutrisi.
Anemia
karena Ancylostoma duodenale dan Necator americanus biasanya berat.
Hemoglobin biasanya di bawah 10 gram per 100 cc darah dan jumlah eritrosit di
bawah 1.000.000/mm3. Jenis anemianya adalah anemia hypochromic
microcytic.
b) Bahan
Pemeriksaan untuk Laboratorium:
Sample
yang diperiksa di laboratorium adalah feces penderita, diperiksa dengan
mikroskop untuk menemukan telur cacingnya.
c) Pencegahan:
Pencegahan
dilakukan dengan perbaikan cara pembuangan kotoran agar tidak mengotori tanah
permukaan, memakai sepatu bila berada di daerah di mana tanahnya
terkontaminasi, pengobatan semua penderita untuk menghilangkan sumber
penularan.
2.
Nematoda
yang Infestasinya di Jaringan Tubuh
Nematoda yang
infeksinya di jaringan tubuh biasanya bersifat parasitik pula pada hewan,
misalnya pada kucing dan anjing.
1) Wuchereria bancrofti dan
Wuchereria malayi
Wuchereria
bancrofti betina panjang 80-100 mm
jantan panjang 30-40 mm
Wuchereria
malayi betina panjang 50-55 mm
jantan panjang 22-23 mm
Wuchereria
sp.
dalam siklus hidupnya memerlukan serangga (insect) sebagai host
intermediate-nya. Cacing dewasa yang hidup di saluran getah bening, setelah
kawin akan menghasilkan microfilaria (180-290 mikron) yang masuk ke dalam
aliran darah.
Microfilaria ini akan
masuk ke dalam tubuh nyamuk, ketika nyamuk mengisap darah manusia, dan
berkembang lebih lanjut. Kemudian, menembus dinding usus nyamuk dan berkumpul
pada kelenjar ludah nyamuk. Bila nyamuk ini mengisap darah manusia lain, maka
terjadi penularan. Mocrofilaria ini akan masuk ke dalam pembuluh lypha dan
tumbuh menjadi cacing dewasa.
Nyamuk yang bertindak
sebagai vektor penyakit merangkap host intermediate-nya, antara lain Culex fatigans, Aedes aegypti, Anopheles
gambiae, Anopheles punctulatus, Anopheles farauti, dan Anopheles sundaicus.
Gambar
4.
Daur hidup Wuchereria bancrofti dan Wuchereria malayi
a) Gejala
Penyakit:
Gejala
penyakit yang utama adalah peradangan dan penyumbatan saluran getah bening.
Jaringan lympha yang sering terkena adalah daerah genitalia dan kaki. Gejala
peradangan jaringan lympha. Dapat berupa lympangitis, lympadenitis, dan
orchitis (radang testis) yang disertai dengan deman dan gejala radang yang
lainya.
Gejala
penyumbatan saluran getah bening dapat berupa varices pembuluh lympha dan
elephantiasis yang biasanya mengenai kaki dan scrotum.
b) Bahan
Pemeriksaan untuk Laboratorium:
Sample
berupa darah dari penderita untuk menemukan microfilarianya.
c) Pencegahan:
Pencegahan
penyakit dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk, pemberantasan nyamuk dan pengobatan
semua penderita untuk menghilangkan sumber penularan.
2) Onchocerca volvulus
Cacing betina
panjangnya 33-50 cm, sedangkan cacing jantan panjangnya 19-42 mm.
Cacing dewasa hidupnya
didalam kulit dan jaringan subcutan. Onchocerciasis ditularkan oleh lalat
penghisap darah, yaitu simulium damnosum,
simulium metallicum, dan simulium
neavei.
Siklus hidupnya dimulai
ketika simulium sp. Mengisap darah
penderita yang mengandung microfilaria. Microfilaria dalam perkembangannya
menembus dinding usus kemudian menempati bagian mulut dari simulium sp. Selanjutnya, akan menular ke manusia bila lalat ini
mengisap darah manusia lainya.
a) Gejala
Penyakit:
Pada
tempat gigitan Simulium sp. akan
terjadi radang setempat berupa benjolan (nodula).
Nodula
ini berkembang sangat lambat dan dalam waktu 3-4 tahun hanya mencapai ukuran
2-3cm.
Benjolan
ini jumlahnya bisa hanya beberapa saja, tetapi bisa juga sangat banyak.
Kadang-kadang benjolan tadi meradang yang diikuti terjadinya abses. Kelainan
patologis yang cukup berat bila infeksinya mengenai mata, yang dapat
menimbulkan kebutaan. Gejala awal pada mata berupa konjungtibitis, mata berair
dan potophobia yang diikuti keratitis, iritis, dan pecahnya bola mata yang
menimbulkan kebutaan.
b) Bahan
Pemeriksaan Laboratorium:
Sample
untuk pemeriksaan dilaboratorium diambil dari kelainan kulit atau nodula untuk
menemukan microfilarianya.
c) Pencegahan:
Pencegahan
dilakukan dengan menghindari gigitan Simulium
sp pemberantasan vektor penyakit,
pengobatan semu penderita untuk menghilangkan sumber penularan.
3) Loa-loa
Cacing betina
panjangnya 50-70 mm, sedangkan cacing jantan panjangnya 30-34 mm microfilianya
250-300 mikron.
Menimbulkan penyakit
calabar (Calabar swelling) ditularkan oleh lalat tabanid genus Chrysops, yaitu Chrysops dimidiata, Chrysops sailacea, dan Chrysops distinctipennis.
Siklus hidupnya dimulai
ketika microfilaria masuk kelambung chrysops
sp. Bersama dengan darah yang dihisapnya. Microfilaria akan masuk kedalam
otot thorax dari chrysops sp.
Kemudian setelah 10hari akan tumbuh menjadi larva matang, ukuranya kurang lebih
2 mm, yang kemudian akan masuk kebagian mulut chrysops sp. Bila chrysops
sp. menggigit manusia lain, larva ini akan masuk kejaringan subkutan dan
berkembang menjadi cacing dewasa.
a) Gejala
Penyakit:
Gejala penyakitnya berjalan sangat
lambat dan kronis yang ditandai dengan pembengkakan jaringan subkutan yang bisa
menghilang secara mendadak karena cacingnya berpindah tempat. Cacing dewasanya
didalam jaringan subkutan bergerak sangat cepat sekitar 1 cm/menit.
Benjolan sebesar telur ayam akan
menghilang setelah 2-3 hari, biasanya didahului rasa sakit disertai demam dan
pruritus (gatal).
b) Bahan
Pemeriksaan Laboratorium:
Sample diambil dari benjolan
calabar dan darah untuk menemukan cacing dewasanya atau microfilarianya.
c)
Pencegahan:
Mencegah gigitan chrysops sp. pemberantasan serangga,
penggunaan insectisida, dan pengobatan penderita untuk menghilangkan sumber
penularan.
4) Dracunculus medinentis
Cacing betina betina
panjangnya sekitar 1 m, sedangkan cacing jantan panjangnya 12-40mm.cacing
dewasa hidupnya di dalam jaringan ikat dan jaringan subkutan. Penularan dapat
terjadi bila orang minum air yang mengandung larvanya.
a) Siklus
Hidup Cacing:
Bila cacing betina hamil, ia akan
bergerak ke tempat jaringan subcutan. Biasanya didaerah kaki. Pada tempat di
mana ujung anterior cacing akan mencapai kulit, akan terjadi papula yang akan
berubah manjadi vesicula dalam waktu 24- 36 jam. Kemudian, vesikula tersebut
pecah dan bila bagian ini terkena air, uterus cacing akan keluar dari lubang
kulit ini dan mengeluarkan jumlah besar larva. Ukuran panjang larva 500-700
mikron dan diameter 15-25 mikron.
Untuk menjadi
lengkapnya siklus cacing, larva ini harus cepat dimakan oleh sejenis crustacea.
Di mana tubuh crustacea larva berkembang menjadi larva matang yang akan menular
ke manusia bila crustasea tersebut dimakan manusia. Di dalam jaringan ikat atau
jaringan subcutan. Larva tadi kan berkembang menjadi cacing dewasa yang setelah
terjadi perkawinan antara cacing jantan dan betina maka siklus hidup tadi akan
diulangi lagi. Masa inkubasi antara 8-12 bulan.
b) Gejala
Penyakit:
Selama masa inkubasi
(8-12 bulan) tidak ada gejala sama sekali (asymptomatis).
Beberapa jam sebelum
munculnya cacing (betina) di bawah kulit akan terjadi erythem, urticaria, dan
diarrhea. Pada tempat dimana bagian ujung anterior cacing (betina) mencapai
kulit akan menimbulkan rasa gatal dan panas.
c) Bahan
Pemeriksaan untuk Laboratorium:
Sample di ambil dari benjolan calabar dan
darah untuk menemukan cacing dewasanya atau microfilarianya.
d) Pencegahan:
Menghindari minum air
yang mengandung filarianya.
5) Trichinella spiralis
Cacing betina
panjangnya 3-4 mm dengan diameter 60-90 mikron. Cacing jantan 1,4-1,6 mm dengan
diameter 40-60 mikron.
Tricinosis menular
melalui daging yang mengandung kistanya, bila daging yang dimakan kurang
matang.
Siklus hidup dimulai
bila kista yang masuk ke traktus digestivus bersama daging yang dimasak kurang
matang. Setelah sampai di usus kecil, kistanya akan menembus diding duodenum
dan menjadi cacing dewasa dalam beberapa hari. Dalam waktu sekitar 5-7 hari,
cacing betina akan hamil dan menembus mucusa intestinum dan mengeluarkan larva.
Dalam waktu 3-16 minggu seekor cacing betina bisa mengeluarkan 1.000-1.500
larva.
Larva ini akan masuk ke
dalam aliran darah dan memasuki berbagai kista. Sedangkan larva yang berada di
dalam darah atau masuk kembali ke dalam aliran darah akan hancur. Di dalam otot
manusia kistanya akan mengalami kalsifikasi (pengapuran) dalam waktu 6 (enam)
bulan, tetapi tetap hidup selama bertahun-tahun. Sumber penularan bagi manusia
terutama adalah daging babi yang mengandung kistanya.
Gambar
5.
Daur hidup Trichinella spiralis
a) Gejala
penyakit:
Gejala penyakit
berkaitan dengan terjadinya invasi mukosa usus oleh cacing, penetrasi jaringan
otot ole larva dan reaksi otot terhadap tumbuhnya kista di dalam otot.
Dua puluh empat jam
setelah makan daging yang mengandung kista, timbul nausea, muntah, diarrhea dan
sakit di perut. Seminggu kemudian cacing betina akan melahirkan larva dan
penetrasi jaringan otot dimulai. Periode ini biasanya terjadi antara hari ke-12
dan hari-14, yang ditandai dengan demam, sakit otot, susah bernapas, sakit
mengunyah, sakit menelan dan sakit bila berbicara, kadang-kadang disertai
kelumpuhan alat gerak. Biasanya disertai edema disekitar mata dan pembengkakan
kelenjar getah bening. Pada periode terjadinya kista di dalam otot dapat
terjadi edema, cachexia, dan gejala neurologis.
b) Bahan
Pemeriksaan untuk Laboratorium:
Biopsi otot skelet,
misalnya musculus deltoidenus, biceps atau gastrognemius untuk mencari
kistanya.
c) Pencegahan:
Memasak sampai matang
setiap daging yang kan dimakan.
6) Toxocara canis
Cacing betina panjangya
6,5-10 cm, sedangkan cacing jantan panjangnya 4-6 cm.
Toxocara
canis adalah cacing yang host utamanya adalah anjing,
tetapi dapat menular kepada manusia melalui makanan dan minuman yang mengandung
telurnya.
Feses anjing yang
berada di sekitar manusia merupakan sumber terjadinya penyebaran penyakit
karena mengandung telur cacing ini.
Telur cacing yang masuk
bersama makanan dan minuman, di dalam usus manusia akan menetas menjadi larva.
Larva ini akan menembus dinding usus, masuk ke dalam aliran darah dan menyabar
ke seluruh jaringan tubuh.
Di dalam tubuh manusia,
larva Toxocara canis jarang mencapai
bentuk cacing dewasanya karena manusia bukan hots utamanya.
a) Gejala
Penyakit:
Gejala penyakitnya kebanyakan
asymptomatis. Pada infestasi yang berat kan muncul gejala demam yang hilang
timbul, malaise, pucat, anoreksia, sakit otot dan sendi, perut sakit, nausea,
muntah dan berat badan yang tidak mau naik. Penyakitnya biasanya sembuh sendiri
setelah 18 (delapan belas) bulan bila tidak ada infeksi ulang.
b) Bahan
Pemeriksaan untuk Laboratorium:
Sample untuk diperiksa di
laboratorium adalah darah. Dilakukan hitung jenis leukocyte dan hitung jumlah
leukocyte serta test serologis. Sulit untuk menemukan larva dari darah. Telur
cacing tidak ditemukan di dalam feses penderita karena Toxocara canis tidak mencapai dewasa di dalam usus manusia.
c) Pencegahan:
Menghindari kontaminasi makanan dan
minuman oleh telur cacing yang biasanya berasal dari kotoran anjing.
Pengobatan
pada anjing yang sakit untuk menghilangkan sumber penularan.
2.3. Platyhelminthes
Platyhelminthes (dalam
bahasa yunani, platy=pipih, helminthes=cacing) atau cacing pipih
adalah kelompok hewan yang struktur tubuhnya sudah lebih maju dibandingkan
porifera dan Coelenterata. Tubuh Platyhelminthes memiliki tiga lapisan sel
(triploblastik), yaitu ekstoderm, mesoderm, dan endoderm.
2.3.1. Ciri Tubuh
Ciri tubuh
Platyhelminthes meliputi ukuran, bentuk, struktur, dan fungsi tubuh.
a. Ukuran
dan bentuk tubuh
Platyhelminthes
memiliki ukuran tubuh beragam, dari yang berukuran hampir microskopis hingga
yang panjangnya 20 cm. Tubuh Platyhelminthes simetris bilateral dengan bentuk
pipih. Di antara hewan simetris bilateral, Platyhelminthes memiliki tubuh yang
paling sederhana.
b. Struktur
dan fungsi tubuh
Platyhelminthes tidak
memiliki rongga tubuh (selom) sehingga disebut hewan aselomata. Sistem
pencernaan terdiri dari mulut, faring, dan usus (tanpa anus). Usus
bercabang-cabang ke seluruh tubuhnya. Platyhelminthes tidak memiliki sistem
peredaran darah (sirkulasi). Platyhelminthes juga tidak memiliki sistem
respirasi dan eksresi. Pernapasan dilakukan secara difusi oleh seluruh sel
tubuhnya.
Proses ini terjadi
karena tubuhnya yang pipih. Sistem eksresi pada kelompok Platyhelminthes
tertentu berfungsi untuk menjaga kadar air dalam tubuh. Kelompok
Platyhelminthes tertentu memiliki sistem saraf tangga tali. Sistem saraf tangga
taki terdiri dari sepasang simpul saraf (ganglia) dengan sepasang tali saraf
yang memanjang dan bercabang-cabang melintang seperti tangga. Organ reproduksi
jantan (testis) dan organ betina (Ovarium). Platyhelminthes terdapat dalam satu
individu sehingga disebut hewan hemafrodit. Alat reproduksi terdapat pada
bagian ventral tubuh.
2.3.2. Cara Hidup dan Habitat
Platyhelminthes ada
yang hidup bebas maupun parasit. Platyhelminthes yang hidup bebas memakan
hewan-hewan dan tumbuhan kecil atau zat organik lainnya seperti sisa organisme.
Platyhelminthes parasit hidup pada jaringan atau cairan tubuh inangnya. Habitat
Platyhelminthes yang hidup bebas adalah di air tawar, laut, dan tempat-tempat
yang lembap. Platyhelminthes yang parasit hidup di dalam tubuh inangnya
(endoparasit) pada siput air, sapi, babi, atau manusia.
2.3.3. Reproduksi
Reproduksi
Platyhelminthes dilakukan secara seksual dan aseksual. Pada reproduksi seksual
akan menghasilkan gamet. Fertilisasi ovum oleh sperma terjadi di dalam tubuh
(internal). Fertilisasi dapat dilakukan sendiri ataupun dengan pasangan lain. Reproduksi
aseksual tidak dilakukan oleh semua Platyhelminthes. Kelompok Platyhelminthes
tertentu dapat melakukan reproduksi aseksual dengan cara membelah diri (fragmentasi),
kemudian regenerasi potongan tubuh tersebut menjadi individu baru.
2.3.4. Klasifikasi
Platyhelminthes
meliputi 2 kelas yang bersifat parasit, yaitu :
1.
Kelas Trematoda
1) Yang
termasuk Trematoda Hati:
a)
Clonorchis
sinensis
b)
Opistorchis
felineus
c)
Opistorchis
viverini
d)
Fasciola
hepatica
2) Yang
termasuk Trematoda Paru:
Parogonimus
westremani
3) Yang
termasuk Trematoda Usus:
a)
Keluarga
Fasciolidae
b)
Keluarga
Echinostomatidae
c)
Keluarga
Heterophydae
4) Yang
termasuk Termatoda Darah:
a)
Schistosoma
haematobium
b)
Schistosoma
japonicum
c)
Schistosoma
manson
2.
Kelas Cestoda:
a.
Diphyllobothrium
latum
b.
Hymenolepis
nana
c.
Echinococus
granulosus
d.
E.
Multiculoris
e.
Taenia
saginata
f.
Taenia
solium
2.3.5. Penyakit yang Disebabkan
Platyhelminthes
1.
Kelas
Trematoda
Cacing dewasa, umumnya berbentuk
pipih, ada bagian ventral dan bagian dorsalnya. Beberapa spesies ada yang
bentuknya agak bulat panjang, ada pula yang bagian anteriornya bulat panjang
sedangkan bagian posteriornya pipih melebar.
Alat reproduksinya ada yang jelas
terpisah antara cacing jantan dan betina adapula yang hermaprodit. Telur cacing
keluar dari tubuh manusia bisa bersama feses (fasciola chlonorcis, fasciolosis, schistosoma mansoni, dan schistosoma
japonicum); urina (schistosoma
haematobium) atau melalui sputum (paragonimus).
Di dalam air, Telur yang menetas
menjadi larva. Dalam perkembanganya memerlukan sejenis mollusca (siput air
tawar) sebagai intermediate host. Sebagian besar trematoda memerlukan
intermediate host ke-2, dimana larvanya berkembang menjadi kista. Echinostoma ilocanum memerlukan molusca
lain, clonorchis sp, memerlukan ikan
air tawar, paragonimus sp memerlukan
kepiting udang sebagai intermediate host keduanya, sedangkan fasciola sp menempelkan kistanya pada
tanan air. Bila manusia memakan host intermediate ke-2 atau tanaman tempat kistanya
berada,dalamkedaan mentah atau kurang matang akan terjadi penularan penyakit,
dan siklus hidup cacing akan menjadi lengkap.
Gejala penyakit yang disebabkan
trematoda tergantung pada :
a. Ukuran
dan banyaknya cacing didalam tubuh.
b. Organ
atau jaringan tubuh yang terinfeksi.
Sejumlah besar cacing kecil dari
spesies metagonimus atau heterophyes yang menempel pada mucosa
usus halus hanya akan menimbulkan gejala penyakit yang ringan, tetepi fasciolopsis dengan jumlah yang sama di
intestinum akan menimbulkan kerusakan lokal yang hebat dan keracunan sistemis.
Sejumlah besar clonorchis atau opistorchis yang akan menimbulkan reaksi radang pada
saluran empedu bagian distal, tidak menimbulkan kerusakan yang berarti pada
hati. Akan tetapi, fasciola yang ukurannya besar dan menyebabkan trauma
sewaktu bermigrasi di atara sel-sel hati serta menempati bagian proximal
saluran empedu menimbulkan kerusakan yang cukup parah di dalam hati. Kelainan
akibat trematoda biasanya lokal dan sistemis. Kelainan lokal berupa ulcerasi, kerusakan
jaringan, abscess atau terbentuknya jaringan fibrosis.
Gejala penyakitnya bergantung pada
besarnya kerusakan yang terjadi dan organ yang terkena dan apakah kerusakannya
permanen (menetap) atau hanya sementara.
Kelainan sistemis biasanya terjadi
karena pengaruh toxin (racun) cacing yang terserap ke dalam darah, menimbulkan
reaksi leukocytosis, hyperreosinophilia, dan reaksi alergi. Pada infeksi oleh
trematoda bisa dibedakan :
a. Masa
inkubasi.
b. Phase
akut.
c. Phase
kronis.
Berkecamuknya penyakit trematoda di
suatu daerah, terutama ditentukan oleh adanya mollusca sebagai host
intermediate di wilayah tersebut. Sedangkan intermediate host kedua, relatif
kurang berperan karena larva trematodanya hanya akan melanjutkan perkembanganya
bila bertemu dengan intermediate host kedua tertentu, sedangkan terhadap
mollusca tidak terlalu memilih.
Kebiasaan masyarakat di daerah
endemi juga sangat menentukan untuk terjadinya infeksi terhadap dirinya maupun
penyebaran penyakitnya. Kebiasaan mandi, mencuci, berbasah-basah di sungai,
kolam atau sawah di mana terdapat larva schistosoma, berisiko untuk ketularan.
Makan sayuran (fasciola), udang atau
kepiting (paragonimus), ikan (clonorchis, opisthorchis) yang kurang matang menyebabkan terjadinya
penularan. Cara pembuangan kotoran, urina atau sputum yang tidak benar,
menyebabkan pengotoran air dimana intermediate host-nya mendapatkan infeksi.
Penderita juga merupakan sumber penularan yang berbahaya bagi masyarakat luas.
Pencegahan penyakit karena
trematoda dapat dilakukan dengan :
a. Pengobatan
semua penderita untuk menghilangkan sumber penularan.
b. Pembuangan
kotoran sesuai dengan aturan kesehatan dan kotoran penderita harus
didesinfeksi.
c. Pemberantasan
siput air tawar
d. Pendidikan
kesehatan kepada masyarakat agar tidak menggunakan air yang terkontaminasi
untuk mandi, mencuci dan sebagainya.
1) Fasciolopsis buski
Fasciolopsis
buski ukuranya antara 50-75 mm, bersifat hermafrodit.
Cacing ini menghuni duodenum dan jejunum. Merupakan parasit pada manusia dan
babi. Telur cacing keluar dari tubuh manusia bersama feces. Bila telur jatuh ke
dalam air tawar, akan menetas menjadi miracidium. Miracidium akan mencari siput
genus Hippentis dan Segmentina sebagai host intermediatenya.
Di dalam siput, miracidium akan berkembang manjadi sporosyst yang menghasilkan
redia kemudian berkembang menjadi
cercaria. Cercaria ini keluar dari siput dan berenang bebas kemudian menjadi
kista yang menempel pada tumbuhan air. Dalam keadaan basah, metacercaria
(kista) ini dapat tahan selama 1 tahun. Bila metacercaria ini termakan host
definitive, maka setelah sampai di intestinum akan berkembang menjadi cacing
dewasa.
Gambar
6.
Daur hidup Fasciolopsis buski
Fasciolopsis
buski menular ke manusia melalui tumbuhan air (sayuran,
buah) yang dimakan mentah dan terkontaminasi metacercarianya. Akan berbahaya
sekali, sebagai penyebar penyakit, bila jenis tumbuhan tersebut dipasarkan untuk
masyarakat luas. Sebagai host intermediatenya adalah siput Segmentina hemisphaerula dan Hippentis
cantori. Fasciolopsis buski
menempel pada mucosa duodenum dan jejunum. Masa inkubasinya 30-40 hari.
a) Gejala
penyakit:
Bila infeksinya ringan, sering
sekali asymptomayis. Pada infeksi yang lebih berat biasanya timbul diarrhea dan
constipasi yang silih bergant, sakit perut, feces berwarna kuning kehijauan
dengan banyak sisa makanan yang tidak tercerna, anorexia, nausea, muntah dan
bertambah kurus (cachexia). Pada infeksi yang berat dapat menyebabkan kematian.
b) Bahan
Pemeriksaan untuk Laboratorium:
Sample untuk pemeriksaan
laboratorium adalah feces penderita, untuk menemukan telur cacing atau cacing
dewasanya.
c) Pencegahan:
Pencegahan
dilakukan dengan:
1. Sayuran
(makanan) agar di masak sampai matang.
2. Buang
air besar harus sesuai dengan aturan kesehatan (feces tidak boleh mengotori
tanah permukaan, air permukaan dan air untuk keperluan rumah tangga).
3. Feces
jangan dipakai sebagai pupuk tanaman.
2) Clonorchis sinensis
Clonorchis
sinensis, panjangnya 10-25mm, lebar 3-5mm, hermafrodit,
merupakan parasit di saluran empedu. Menimbulkan penyakit pada manusia, anjing,
dan kucing.
a) Lingkaran
Hidup:
Cacing
dewasa menghasilkan telur di dalam saluran empedu, telur ini bersama empedu
akan masuk ke duodenum dan ke luar tubuh mnusia bersama feces. Bila telur jatuh
ke dalam air tawar akan menetas menjadi miracidium yang akan masuk ke dalam
siput tertentu, yaitu Parafosarulus
manchouricus, Bulimus fuchianus, Alocinma longicornis dan Huangpoensis sp.
Di
dalam siput miracidium akan berkembang menjadi sporocyst yang menghasilkan
redia. Ke luar dari siput berkembang menjadi cercaria. Cercaria akan masuk ke
bawah sisik ikan, selanjutnya masuk ke dalam daging ikan dan berubah manjadi
metacercaria (kista). Bila ikan yang mengandung kista ini termakan manusia atau
binatang lain, di dalam duodenum, metacercaria akan berkembang menjadi cacing
dewasa. Cacing dewasa ini akan masuk ke dalam saluran empedu dan menetap di
sana untuk melanjutkan siklus hidupnya.
Ikan
yang menjadi hospes intermediatenya kedua dari Clonorchis sinensis adalah kelas Salmnidae, Gobidae, Cyprinidae dan Anabantidae. Ikan-ikan ini hidup di kolam atau di kali. Manusia
bisa tertulari Clonorchis sinensis bila makan ikan yang di masak kurang matang,
walaupun sebagai ikan asin.
Gambar 7.
Daur hidup Clonorchis sinensis
b) Gejala
Penyakit:
Cacing dewasanyan hidup di dalam
saluran empedu.
Bila infeksinya ringan, sering kali
asymptomatis. Pada infeksi yang lebih berat menimbulkan gejala demam, sakit di
daerah epigastrum, diarrhea, anorexia, hepatomegali dan icterus. Pada infeksi
yang lebih berat lagi dapat terjadi liver cirrhosis, ascites, edema anasarca,
cachexia dan icterus, kematian terjadi karena gangguan fungsi liver.
c) Bahan
Pemeriksaan untuk Laboratorium:
Sample
untuk pemeriksaan di laboratorium adalah feces atau cairan dari duodenum untuk
menemukan telur cacing atau cacing dewasanya.
Pencegahan:
Pencegahan
dilakukan dengan selalu makan ikan air tawar yang di masak sampai matang, perbaikan
cara pembuangan kotoran, pengobatan semua penderita untuk menghilangkan sumber
penularan.
3) Fasciola hepatica
Ukuran
cacing dewasa panjangnya 25 mm dan lebar 13 mm, bersifat hermafrodit. Cacing
dewasanya hidup di dalam saluran empedu dan parenchyma liver. Fasciola hepatica sebenarnya merupakan
penyakit terutama pada biri-biri dan kambing. Menular kepada manusia melalui tanaman air, yang mengandung
metacercaria yang dimasak kurang makan atau dimakan mentah.
a) Lingkaran
Hidup:
Telur
cacing yang berasal dari feces penderita bila jatuh ke dalam air akan menetas
manjadi miracidium. Miracidium akan masuk ke dalam siput dan berkembang menjadi
sporocyst. Sporocyst akan berkembang menjadi redia dan keluar dari siput
menjadi cercaria. Cercaria akan menempel pada tanaman air atau masuk ke bawah
sisik ikan dan berkembang menjadi metacercaria. Metacercaria bila termakan oleh
definitive host, di dalam intestinum akan berkembang menjadi larva, kemudian
menuju saluran empedu dan tumbuh menjadi cacing dewasa. Hewan yang menjadi
definitive hostnya adalah herbivore terutama biri-biri, kambing, kuda, unta,
dan beberapa carnivore seperti anjing. Siput yang menjadi host intermediatenya,
antara lain genus Lymnaea, Bilimus,
Succinea, Practicolllela dan Pomacea.
Tanaman air yang di tempeli metacercaria ini akan berbahaya bagi masyarakat
bila di jual di pasaran.
b) Gejala
Penyakit:
Bila
infeksinya ringan, sering kali asymtomatis. Pada infeksi yang lebih berat
timbul gejala demam, urticaria, diarrhea dan icterus.
Fasciola hepatica
yang hidup di dalam saluran empedu dan parenchyma liver menimbulkan peradangan berupa hyperplasia, necrosa dan
fibrosis parenchyma liver.
c) Bahan
Pemeriksaan untuk Laboratorium:
Sample
untuk pemeriksaan laboratorium berupa feces, bahan dari duodenum atau dari
saluran empedu untuk menemukan telur cacing atau cacing dewasanya.
d) Pencegahan:
Pencegahan
dilakukan dengan memberantas siput, tanaman air (sayuran) dari daerah endemis
jangan di makan atau dijual di pasaran, hati kambing harus dimasak sampai
matang sebelum dimakan.
4) Paragonimus
westermani
Cacing
dewasa panjangnya 8-20 mm dan lebar 5-9 mm. Bersifat hermaprodit dan hidup di
dalam parenchym paru-paru.
Siklus
hidupnya:
Cacing
dewasa yang hidup di dalam parenchym paru-paru akan bertelur. Telur akan
terangkat ke saluran pernapasan bagian atas, ke luar dari tubuh dengan sputum
waktu batuk atau tertelan dan keluar bersama
feces. Bila telur jatuh ke air, akan menetas menjadi miracidium.
Miracidium masuk ke dalam tubuh siput, berkembang menjadi sporocyst, kemudian
menjadi redia dan keluar dari siput sebagai cercaria. Cercaria akan masuk ke
dalam tubuh ketam atau udang, sebagai intermediate host kedua.
Di
dalam host intermediate kedua ini, cercaria akan berkembang menjadi
metacercaria. Manusia akan tertulari Paragonimus
westermani bila makan udang/ketam (crustacea) yang mengandung metacercaria
ini, yang dimasak kurang matang. Di dalam duodenum metacercaria akan menetas
menjadi larva. Larva ini akan menembus dinding usus, masuk ke dalam aliran
darah dan akan sampai di parencym paru-paru untuk berkembang menjadi cacing
dewasa di dalam paru-paru. Larva tadi bisa juga sampai di paru-paru setelah
menerobos diaphragm untuk kemudian masuk ke parenchym paru-paru.
Siput
yang menjadi host intermediate pertama cacing ini, antara lain Semisulcospira libertina, Semisulcospira
amurensis, Hua toucheana dan Tarebia
granifera. Sedangkan Crustacea sebagai host intermediate kedua, antara lain
Cambaroides japonicus, Cambaroides
similis, Potamon rathbuni, Potamon denticulatus, Parathelphusa sinensis, dan
Sesarma intermedia. Di samping
manusia sebagai host definitifnya antara lain kucing, anjing babi.
a) Gejala
Penyakit:
Gejala
yang paling sering terjadi pada infeksi Paragonimus
westermani adalah bronchitis yang kronik, bronchiectasi dengan batuk yang
produktif (banyak sputum) di pagi hari dengan sputum berwarna kecoklatan atau
kemerahan kadang-kadang disertai dyspnea. Penyakit ini sering kali dinamakan
“endemic hemoptysis” (batuk darah endemis) karena gejala utama yang sering
adalah hemoptysis (batuk darah). Pada penyakit yang berat sering disertai
pleural effusion dan abscess paru-paru
b) Bahan
Pemeriksaan Untuk Laboratorium:
Sampel
untuk pemeriksaan laboratorium adalah sputum dan feces untuk menemukan telur
cacingnya.
c) Pencegahan:
Pencegahan
penyakit dilakukan dengan memasak crustacea (udang, ketam, kepiting) sampai
matang sebelum dimakan
2.
Kelas
Trematoda yang termasuk Termatoda Darah (Schistosoma)
Ada 3 spesies schitosoma yang
menimbulkan penyakit pada manusia yaitu: schitosoma
haematobium, schitosoma japonicum
dan schitosoma mansoni. Cacing ini
hidup didalam pembuluh darah manusia. Panjangnya antara 6,5-26 mm, yang betina
lebih panjang dari yang jantan. Menular kemanusia karena larvanya (cercaria)
menembus kulit yang tidak dilindungi.
Siklus Hidup:
Siklus hidup dimulai ketika cacing
jantan membuhai cacing betina didalam pembuluh darah vena. Selanjutnya, cacing
jantan akan memegang cacing betina di dalam saluran gynecopheralnya dan membawanya kepembuluh darah vena yang lebih
kecil dijaringan mesenterium. Pada schitosoma
haemotobium akan membawanya ke sisitem pembuluh vena di daerah pelvis
terutama sekitar vesica urinaria dan cacing betina akan melepaskan diri dari
jantanya dan menghasilkan telur. Telur-telur ini akan ditempatkan didalam
kapiler pembuluh darah. Pada suatu saat telur ini akan dilepaskan kedalam lumen
usus atau fesica urine dan keluar dari tubuh bersama feces atau urina.
Didalam air, telur
cacing akan menetas menjadi miracidium (embrio yang mempunyai silia).
Miracidium ini akan berenang dan masuk kedalam siput tertentu untuk berkembang
menjadi sporocyst. Setelah beberapa
waktu tertentu, sporocyst akan
berkembang menjadi ratusan cercariae, dan keluar dari siput, selanjutnya
menulari manusia melalui kulit yang tidak dilindungi.
Waktu yang dibutuhkan sporocyst untuk berkembang menjadi
cercaria pada schistosoma haematobium
antara 4-8 minggu, schistosoma japonicum
antara 5-7 minggu, dan schistosoma
mansoni sekitar 4 minggu.
Orang yang dalam
pekerjaanya banyak berkaitan dengan air, misalnya waktu menanam padi di sawah,
mencuci di sungai, menyeberang kali, ataupun mandi di sungai dapat tertulari schistosoma sp. Cercaria yang menempel
di kulit dapat menembus kulit dalam waktu 5 (lima) menit dan dalam waktu 24 jam
sudah beredar dengan darah ke seluruh tubuh.
Schistosoma
haematobium dan schistosoma
mansoni hanya menimbulkan panyakit pada manusia. Sedangkan schistosoma japonicum merupakan parasit
pada manusia, kerbau, kuda, ternak, babi, anjing, dan kucing.
Pencegahan penyakit
dilakukan dengan:
a. Pengobatan
penderita untuk menghilangkan sumber penularan.
b. Perbaikan
cara pembuangan feces manusi aagar tidak melahirkan miracidium.
c. Pemberantasan
siput molusca dengan moluscicida.
d. Menghindari
kontak dengan air yang mengandung cercariae.
1)
Schistosoma
haematobium
Schistosoma
haematobium menghuni sistem pembuluh vena di daerah
pelvis dan vesica urinaria. Telurnya meruncing seperti duri pada salah satu
ujungnya dan keluar dari tubuh penderita bersama urina. Di dalam air tawar
telurnya akan menetas menjadi miracidium kemudian masuk ke tubuh siput dan
berkembang menjadi sporocyts yang selanjutnya keluar dari siput berupa
cercaria.
Siput yang
merupakan host intermediate haematobium antara lain genus Bulinus, physopsis dan
Bhiompalaria.
a) Gejala
Penyakit:
Masa
inkubasinya antara 10-12 minggu.
Gejala
awalnya berupa demam, biasanya sore hari, lesu, tidak enak perut, kadang-kadang
terjadi urticaria. Sering kencing, disertai rasa panas dan sakit, dan urina
bercampur darah (hematuri).
Kelainan
phatologis terutama di sebabka berkumpulnya telur cacing pada dinding kandung
kencing, kemudian menjadi abces yang pecah ke dalam kandung kencing, sehingga
mucus, darah, nanah dan telur cacing akan keluar dari tubuh bersama urina.
b) Bahan
Pemeriksaan untuk Laboratorium:
Sample
untuk pemeriksaan laboratorium adalah urina, untuk menemukan telur cacing.
Cacing
dapet juga ditemukan dalam feces penderita.
c) Pencegahan:
Pencegahan
sama dengan pencegahan penyakit karena Schistosoma
sp. pada umumnya.
2) Schistisoma japonicum
Sebagai reservoir dari Schistisoma japonicum adalah manusia,
kerbau, kuda, ternak, babi, anjing, kucing, dan tikus. Sebagai host
intermediatenya adalah siput genus Oncomelania,
misalnya Oncomelania quadrasi,
Oncomelania formosana, Oncomelania nosophora, dan Oncomelania hupensis.
a) Gejala
Penyakit:
Penumpukan telur cacing di dalam
venula dinding intestinum dan colon dimulai setelah 4 (empat) dari infeksinya.
Kumpulan
telur ini menimbulkan abscess yang pecah ke dalam lumen usus sehingga feces
yang keluar dari tubuh mengandung mucus, nanah, darah dang telur cacing.
Proliferasi
sel ephitel di antara abscess menimbulkan terjadi banyak polyp yang menonjol ke
dalam lumen usus. Telur cacing yang bersama aliran darah masuk ke dalam hati
menyebabkan abscess dan jaringan ikat di dalam hati. Spleen membengkak karena
adanya penyumbatan vena porta. Biasanya di ikuti terjadiinya ascites.
Gejala
awal penyakit berupa demam biasanya sore hari, lesu, batuk kering, urticaria.
Penumpukan telur dalam diding usus dan hati menyebabkan rasa tidak enak dalam
perut dan malaise.
Timbul
diarrhea, feses dengan lender, nanah, darah, dan telur cacingnya.ada infeksi
yang berat, kematian karena gangguan fungsi hati, dapat timbul dalam waktu 1
tahun.
Gizi
buruk dan infeksi ulangan merupakan factor penyebab terjadinya kasus yang
fatal.
b) Bahan
Pemeriksaan untuk Laboratorium:
Sample
untuk pemeriksaan di laboratorium berupa feces penderita atau hasil biopsy
rectum.
c) Pencegahan:
Pencegahan
sama dengan penyakit Schistosoma sp. lainya, tetapi dalam hal
ini lebih sulit lagi karena adanya binatang sebagai reservoir cacingnya.
3) Schistosoma mansoni
Siput
sebagai host intermediate-nya adalah Australorbis
glabratus, Tropicorbis havanensis, Biomphalaria alexandrina, dan Bhiompalaria pfeifferi.
a) Gejala
Penyakit:
Schistosoma mansoni
menempatkan telurnya di dalam kapiler dan venula pada usus besar dan bagian
akhir dari usus halus, sebagian telurnya akan terbawa aliran darah ke dalam
liver.
Penetrasi
kulit oleh cercaria dapat menimbulkan gatal dan ruam kulit. Dua minggu kemudian
terjadi demam, malaise, nausea dan rasa tidak enak perut. Penumpukan telur
dalam dinding usus menimbulkan diarrhea dengan feces berdarah, perut sakit,
berat badan menurun dan anemia.
Kerusakan
liver dapat menimbulkan cirrhosis yang progresif yang dapat menimbulkan varices
esophagus dan terjadinya hematemesis (muntah darah). Gangguan fungsi liver
biasanya berakhir dengan kematian.
b) Bahan
Pemeriksaan untuk Laboratorium:
Sample
untuk pemeriksaan di laboratorium adalah feces atau hasil biopsy untuk
menemukan telur cacingnya.
c) Pencegahan:
Pencegahan
sama dengan cara pencegahan Schistosoma
sp. pada umumnya.
3.
Kelas
Cestoda
Cestoda (cacing pita)
dalam siklus hidupnya ada yang memerlukan air untuk menetaskan telurnya ada
yang tidak (cukup dengan tanah). Yang memerlukan air contohnya Diphyllobothrium latum sedangkan yang
lainnya tidak memerlukan air.
Dalam penularannya
kepada manusia ada yang memerlukan intermediate host misalnya Hymenolepis nana, sedangkan yang lainnya
memerlukan 1 (satu) atau 2 (dua) jenis intermediate host.
Ukuran cacing dewasanya
bervariasi dari yang panjangnya hanya 40 (empat puluh) mm (misalnya Hymenolepis nana) sampai yang panjangnya
10-12 meter (misalnya Taenia saginata
dan Diphyllobothrium latum).
Cestoda adalah cacing
hermafrodit. Cacing ini terdiri atas scolex (atau kepala) yang berfungsi
sebagai alat untuk melekatkan (kaitan) diri pada dinding intestinum. Di
belakang scolex terdapat leher, merupakan bagian cacing yang tidak bersegmen.
Di belakang leher tumbuh proglottid yang semakin lama, semakin banyak yang
menyebabkan cacing menjadi semakin panjang dan bersegmen-segmen. Setiap
proglottid (segmen) dilengkapi dengan alat reproduksi (jantan dan betina).
Semakin jauh dari scolex proglottidnya semakin tua, sehingga proglottidnya yang
paling ujung seolah-olah hanya sebagai kantung telur saja, sehingga disebut
proglottid gravida.
Proglottid muda selalu
dibentuk di belakang leher, sehingga proglottid tua akan terdorong semakin lama
semakin jauh letaknya dari scolex. Seluruh cacing mulai scolex, leher sampai
proglottid yang terakhir (proglottid gravida) disebut strobila.
Cestoda berbeda dengan
nematode dan trematoda, tidak mempunyai usus. Makanan masuk ke dalam tubuh
cacing karena diserap oleh permukaan sel cacing.
1) Diphyllobothrium latum
Bersifat hermafrodit.
Cacing dewasa panjangnya dapat mencapai 10 (sepuluh) meter. Menempel pada
dinding intestinum dengan scolex. Panjang scolex dengan lehernya 5-10 mm jumlah
proglottidnya bias mencapai 3.000 (tiga ribu) atau lebih. Satu cacing bias
mengeluarkan 1.000.000 (satu juta) telur setiap harinya.
a) Siklus
Hidup
Telur Diphyllobothrium latum harus jatuh ke dalam air agar bias menetas
menjadi coracidium. Coracidium (larva) ini harus dimakan oleh Cyclops atau Diaptomus untuk bias melanjutkan siklus hidupnya. Di dalam tubuh
Cyclops larva akan tumbuh menjadi larva procercoid.
Bila Cyclops yang mengandung larva procercoid dimakan oleh ikan tertentu
(intermediate host kedua), maka larva cacing akan berkembang menjadi plerocercoid.
Plerocercoid ini akan berada di dalam daging ikan.
Bila daging ikan yang mengandung
plerocercoid ini dimakan manusia, maka akan terjadi penularan. Di dalam
intestinum manusia, plerocercoid akan berkembang menjadi cacing dewasa.
b) Gejala
Penyakit
Biasanya asymptomatis, tetapi
kadang-kadang berupa perut sakit, berat badan menurun dan anemia.
c) Bahan
Pemeriksaan untuk Laboratorium
Sample berupa feces untuk
pemeriksaan adanya telur cacing.
d) Pencegahan
Ikan harus dimasak sampai matang
sebelum dimakan.
2) Taenia solium
Cacing dewasa bisa
mencapai 2-7 meter. Bersifat hermafrodit. Cacing dewasanya menempel pada
dinding intestinum dengan scolexnya sedangkan cysticercusnya terdapat di
jaringan otot atau jaringan subcutan.
a) Lingkungan
Hidup
Telur keluar dari proglottid
gravida, baik setelah proglottid lepas dari strobila, ataupun belim, keluar
dari tubuh manusia bersama feces.
Telur yang jatuh di tanah bila
termakan manusia atau babi sampai di intestinum, akan menetas kemudian menembus
dinding intestinum masuk ke dalam aliran
lympha atau aliran darah dan beredar ke seluruh tubuh. Sebagian besar akan
masuk ke dalam otot atau ke dalam jaringan subcutan. Dalam waktu 60-70 hari
akan berkembang menjadi cysticercus yang menetap di dalam otot atau jaringan
subcutan.
Bila manusia makan daging babi yang
mengandung cysticercus, maka cysticercus ini di dalam intestinum akan menetas
menjadi larva dan dalam waktu 5-12 minggu tumbuh menjadi cacing dewasa yang
menetap di dalam intestinum.
Dalam hubungan ini sebagai
definitif hostnya adalah manusia sedangkan sebagai intermediate hostnya adalah
babi.
Bila manusia bertindak sebagai
definitif host, maka Taenia solium-nya berada di dalam intestinumnya. Hal ini
terjadi bila manusia makan daging yang mengandung cysticercus Taenia solium.
Bila manusia bertindak sebagai
intermediate host, maka cysticercus Taenia solium berada di dalam jaringan otot
atau jaringan subcutan. Hal ini terjadi bila manusia makan makanan yang
terkontaminasi ole telur Taenia solium. Infeksi pada manusia umumnya terjadi
melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi telur cacingnya. Telur cacing
dapat berasal dari penderita yang mengandung cacing dewasanya ataupun karena autoinfeksi dari penderita sendiri
(feces-tangan-mulut). Hewan lain, seperti ternak dan anjing dapat mengandung
cysticercus di dalam dagingnya karena terinfeksi oleh telur Taenia solium.
b) Gejala
Penyakit
Cacing dewasa yang berada di dalam
intestinum jarang menimbulkan gejala. Gejala yang sering muncul adalah sakit
epigastrum, nafsu makan meningkat, lemah dan berat badan menurun.
Gejala yang disebabkan adanya
cysticercus di dalam jaringan tubuh, bervariasi bergantung pada organ yang
terkena dan banyaknya cysticercus. Bila jumlahnya sedikit dan hanya tersebar di
jaringan subcutan, biasanya asymptomatis atau hanya berupa benjolan kecil-kecil
di bawah kulit (subcutan).
Bila cysticercus berada di jaringan
otak, sumsum tulang belakang, mata atu otot jantung akibatnya menjadi serius
bahkan bias mematikan.
c) Bahan
Pemeriksaan untuk Laboratorium
Sample berupa feces penderita untuk
mencari proglottid dan telur cacingnya.
d) Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan memasak
daging sampai matang sebelum dimakan.
Perbaikan cara pembuangan kotoran,
peningkatan hygiene pribadi, menjaga kebersihan makanan dan minuman dan mengobati
semua penderita untuk menghilangkan sumber penularan.
3) Taenia saginata
Taenia
saginata bersifat hermafrodit. Cacing dewasa panjangnya
antara 5-10 meter. Hidup di dalam intestinum.
a) Siklus
Hidup
Telur cacing yang keluar bersama
feces penderita bila jatuh di tanah dan termakan oleh sapi atau kerbau, di
dalam intestinum sapi akan menetas menjadi larva. Larva ini akan menembus
dinding usus, masuk ke dalam aliran darh dan menyebar ke seluruh tubuh sapi.
Bila sampai ke jaringan otot, akan menetap dan berkembang menjadi cysticercus.
Manusia, yang bersifat sebagai host definitif akan tertulari Taenia saginata
bila memakan daging sapi yang mengandung cysticercus yang dimasak kurang
matang. Di dalam intestinum cysticercus akan menetas dan berkembang menjadi cacing
dewasa. Dalam waktu 12 (dua belas) minggu sudah dapat menghasilkan telur lagi.
b) Gejala
Penyakit
Biasanya asymptomatis. Pada infeksi
yang berat dapat timbul gejala sakit epigastrum, nafsu makan bertambah, lemas,
dan berat badan berkurang. Kadang-kadang disertai vertigo, nausea, muntah,
sakit kepala dan diarrhea.
c) Bahan
Pemeriksaan untuk Laboratorium
Sample untuk pemeriksaan di
laboratorium adalah feces untuk menemukan telur cacingnya dan proglottidnya.
d) Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan memasak
daging sampai matang sebelum dimakan. Hanya hewan yang sehat saja yang boleh
dipotong dan dagingnya boleh diperjualbelikan.
4) Echinococcus granulosus
Bersifat hermafrodit. Echinococcus granulosus adalah cestoda
yang paling kecil. Panjang cacing hanya 1,5-6 mm. Cacing ini terdiri atas
scolex, 1 (satu) proglottid muda, 1 (satu) proglottid tua dan 1 (satu)
proglottid gravida. Sebagai host definitifnya dalah anjing, sedangkan manusia
sebagai host intermediatenya.
Manusia tertulari
cacing ini karena makan makanan atau minuman yang terkontaminasi telur Echinococcus granulosus yang berasal
dari feces anjing yang sakit.
Di dalam duodenum telur
akan menetas menjadi larva. Larva ini akan menembus dinding duodenum, masuk ke
dalam aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Sekitar 60-70% dari larva
akan menjadi kista hydatid (hydatidcyst) di dalam liver. Di alam siklus hidup Echinococcus granulosus akan menjadi
lengkap bila kista hydatid ini dimakan oleh carnivore, misalnya anjing.
Selaku intermediate
host selain manusia adalah biri-biri, ternak, dan babi. Bahan yang berbahaya
untuk penularan adalah kotoran anjing yang mengandung telur cacingnya.
a) Gejala
Penyakit
Pada awalnya kista hydatid ini
tidak menimbulkan gejala. Akan tetapi, dengan semakin membesarnya kista, timbul
gejala, baim objeltif maupun subjektif. Gejala yang sering dirasakan adalah
nausea, muntah, sakit perut bagian atas kanan, kolik saluran empedu dan
icterus.
Bila kista terjadi di dalam tulang,
bisa terjadi fraktur yang spontan. Bila kista terjadi di otak, dapat
menimbulkan epilepsi, buta atau gejala neurologis lainnya.
b) Bahan
Pemeriksaan untuk Laboratorium
Bila kista hydatid di dalam
paru-paru pecah, maka sample yang diambil adalah sputum penderita.
c) Pencegahan
Pencegahan penyakit dengan menjaga
kebersihan makanan dan minuman serta hygiene pribadi.
Definitif host, khususnya anjung
yang menderita penyakit Echinococciasis, agar diobati untuk menghilangkan
sumber penularan.
Peningkatan sanitasi lingkungan
terutama menjauhkan diri dari kotoran anjing.
5) Hymenolepis nana
Bersifat hermafrodit,
panjangnya 25-40 mm, dan lebarnya 1 (satu) mm. menimbulkan penyakit pada
manusia dan tikus. Cacing dewasanya hidup di dalam intestinum.
Penularan penyakitnya
tidak memerlukan host intermediate. Manusia bias tertulari melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi telur Hymenolepis
nana.
Telur yang masuk
bersama makanan atau minuman setelah sampai di dalam duodenum, akan menetas
menjadi oncosphere. Oncosphere akan menembus villus usus dan berkembang menjadi
cysticercus. Setelah matang, cysticercus akan menghasilkan prasit-parasit yang
akan berkembang menjadi cacing dewasa dan menetap di antara villi usus.
a) Gejala
Penyakit
Penyakitnya sering kali
asymptomatis. Bila infeksinya berat, akan timbul diarrhea dan sakit di perut.
b) Bahan
Pemeriksaan untuk Laboratorium
Sample berupa feces penderita,
diperiksa untuk menemukan telur cacing Hymenolepis nana.
c) Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan menjaga
kebersihan makanan dan minuman, meningkatkan hygiene pribadi, perbaikan cara
pembuangan feces, pemberantasan tikus untuk menghindari penularan dari tikus
dan pengobatan penderita untuk menghilangkan sumber penularan.
2.4. Cara Pemberantasan dan Pencegahan
Infeksi Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah
Setelah dipahami
karakteristik masing-masing spesies serta cara pencegahannya maka pada bagian
ini dapat dibuat suatu resume tentang cara pemberantasan dan pencegahan infeksi
cacing yang ditularkan melalui tanah. Untuk memberantas cacing harus memutuskan
rantai daur hidupnya, yang dapat dilakukan dengan dua metode yaitu pencegahan
dan pengobatan. Pada prinsipnya untuk cacing-cacing yang ditularkan melalui tanah
memutuskan daur hidup dapat dilakukan dengan:
a. Membuang
air besar hendaknya dilakukan di jamban, tidak di sungai, kebun, atau halaman.
Ini dimaksudkan untuk mencegah tinja penderita mencemari tanah sehingga telur
cacing tidak tumbuh menjadi stadium infektif yang dapat menjangkiti orang lain.
b. Menjaga
kebersihan perorangan misalnya dengan selalu mencuci tangan dengan air bersih
sebelum dan sesudah makan dan minum sehingga telur cacing yang infektif tidak
tertelan. Buah dan sayuran sebelum dimakan hendaknya dicuci atau lebih baik
kalau dimasak lebih dahulu.
c. Pemupukan
tanaman dengan tinja segar manusia sebaiknya ditiadakan, dan penyiraman sayuran
yang biasanya dimakan mentah hendaknya disiram dengan mempergunakan air bersih.
d. Menjaga
kebersihan lingkungan rumah dan halaman. Biasakan menggunakan sandal atau alas
kaki jika berjalan di kebun. Bila berkebun dianjurkan menggunakan sarung
tangan. Selain untuk mencegah masuknya larva infektif cacing tambang juga
mencegah tercemarnya tangan dengan telur infektif cacing tambang, gelang dan
cambuk.
e. Mengobati
penderita, penderita sebagai satu-satunya sumber infeksi cacing usus. Dengan
mengobati penderita maka sumber penularan yaitu cacing dewasa yang hidup di
usus penderita dapat dibasmi, sehingga produksi telur terhenti.
BAB
III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Helmintologi adalah
ilmu cabang dari parasitologi. Helmintologi, diadopsi dari kata helmintos yang artinya cacing, dan logos yang artinya ilmu. Sementara
Parasitologi berasal dari kata parasitos
yang artinya organisme yang mengambil makan, dan logos yang artinya ilmu, telaah. Helmintologi merupakan suatu
bidang ilmu tentang cacing yang berperan sebagai parasit. Cacing yang bersifat
parasit pada manusia termasuk dalam 2 golongan besar, yaitu cacing bulat
(Nemathelminthes) dan cacing pipih (Platyhelminthes). Dari Nemathelminthes yang
terpenting adalah kelas Nematoda sedangkan dari Platyhelminthes adalah kelas
Trematoda dan Cestoda.
Masalah kecacingan di
masyarakat, selalu identik dengan kondisi sanitasi dan personal hygiene. Karena
identik itulah maka permasalahan tentang kecacingan di Indonesia berbeda dari
suatu masyarakat ke masyarakat lainnya.
Untuk memberantas
cacing harus memutuskan rantai daur hidupnya, yang dapat dilakukan dengan dua
metode yaitu pencegahan dan pengobatan. Metode pencegahan dilakukan dengan
cara: perbaikan cara pembuangan kotoran agar tidak mengotori tanah permukaan,
memakai sepatu bila berada di daerah di mana tanahnya terkontaminasi, menjaga
kebersihan perorangan misalnya dengan selalu mencuci tangan dengan air bersih
sebelum dan sesudah makan dan minum sehingga telur cacing yang infektif tidak
tertelan. Metode pengobatan dilakukan dengan cara: pengobatan semua penderita
untuk menghilangkan sumber penularan.
3.2. Saran
Perlunya menjaga
kebersihan diri dan lingkungan untuk mencegah penyakit cacing. Selain itu,
pengolahan makanan maupun minuman harus dengan cara yang benar agar tidak
tercemar oleh telur cacing. Dilakukannya pengobatan pada penderita untuk
menghilangkan sumber penularan.
DAFTAR
PUSTAKA
Entjang,
dr. Indan. (2003). Mikrobiologi dan
Parasitologi untuk Akademi Keperawatan dan Sekolah Tenaga Kesehatan yang
Sederajat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Jangkung
S O. (2000). Parasitologi Medik. 1.
Helmintologi. Jakarta: EGC
Staf
Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (2005). Mikrobiologi dan Parasitologi
Kedokteran. Jakarta: FKUI
Stainless Steel G650Ti Classic Glasses with - TitaniumArt
BalasHapusStainless Steel G650Ti titanium for sale Classic Glasses with Glasses micro touch titanium trim with Steel microtouch trimmer Heads. Glass-making Stainless Steel Heads Glass Rings. Titanium Art is a citizen promaster titanium premium craft glass $44.00 · infiniti pro rainbow titanium flat iron In stock